Krueng Aceh di Peunayong malam hari. Foto aidiaphotography.blogspot.com |
Tanpa mengecilkan arti benar tidaknya ada sebuah bandar hebat ketika itu, siapapun mengakui yang tahun 1205 M itu adalah munculnya kerajaan Aceh Darussalam dengan Sultan pertamanya Alaidin Johan Syah. Mungkin saja ibu kota kerajaan itu memang di Banda Aceh sekarang yang jaraknya 5 KM dari lalulintas samudera ketimbang sebuah kota sebagai bandar pelabuhan seperti Malaka, Makassar dll, yang juga muncul di abad-abad lampau.
Sebagian kita barangkali telah terbawa arus berimajinasi dari orang-orang tertentu zaman kini tentang adanya sebuah kota berstatus bandar pelabuhan yang sibuk. Imajinasi-imajinasi demikian membuat kita menerima saja akan sesuatu, sebagai meyakinkan bahwa kita juga memiliki sebuah kota macam Malaka, Palembang, Bengkulu dll lagi. Sekali lagi tanpa mengecilkan arti keberadaan sejarah yang pernah melintas di negeri ini, kita cukup bangga dengan runutan para Sultan dan Sultanah yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam yang memang jelas ada dan bahkan telah berpengaruh sampai ke tingkat internasional pada abad-abad lalu tersebut.
Salah satu sudut Peunayong. Foto: www.tribunnews.com |
Rex, Pusat Jajanan Malam. Foto: inbandaaceh.com |
Dari berbagai catatan, diperoleh data tanpa mengecilkan arti Banda Aceh yang telah berusia lebih 7 abad ini, tentang lebih mencuatnya beberapa pelabuhan di Pantai Barat yang berhadapan dengan Samudera Hindia, tanpa predikat bandar, semenjak dari Negeri Barus sampai ke kawasan Aceh Besar. Dalam peta-peta kuno jalur pelayaran para nakoda asing, tercantum nama-nama pelabuhan yang pada jadwal-jadwal tertentu mereka wajib singgah untuk membeli ataupun membarter berbagai jenis rempah-rempah. Baiklah kita telusuri peta kuno para pelaut asing tersebut seperti yang diungkapkan dalam buku Aceh Sepanjang Abad oleh Mohd.Said. Adalah pelabuhan-pelabuhan tersebut berikut ini dalam ejaan lidah pelaut asing, yakni: Barus, Tepus, Singkli (Singkil), Trumon, Mukki (Meukek), Labonarge (Labuhanhaji), Talafao (Lhokpaoh), Susu/Pulo Kiyu (Susoh/Pulau Kayu), Qualah Batto (Kuala Batee), Rigas (Rigah), Kluwang (Keuluang) dan Anambelu (diperkirakan pelabuhan Inong Balee-Pen).
Mereka, pelaut-pelaut asing itu tidak mencantumkan adanya Sibolga, Tapaktuan, Meulaboh, Calang, maupun Banda (Bandar) Aceh. Lagi-lagi tanpa mengecilkan arti sebuah nama, semua orang mengakui bahwa keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam dengan petinggi pertamanya Sultan Alaidin Johan Syah memang telah ada semenjak 795 tahun lalu. Dengan Perda Aceh No. 5/1988, ditetapkanlah tanggal keberadaan Banda Aceh bertepatan dengan hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H, atau 22 April 1205 M. Namun apakah ada tidaknya sebuah bandar (kota pelabuhan) ketimbang ibu kota sebuah kerajaan yang berwibawa, para peneliti sejarah jugalah yang mampu mengungkapkannya. Wallahualam bissawab.
Cuma 6 Sekolah Dasar
Setelah penyerahan kedaulatan 1949, Banda Aceh yang disebut sebagai Kutaraja hanya memiliki 5 Sekolah Dasar (SD) yang ketika itu disebut Sekolah Rakyat (SR). Menurut salah seorang murid dari salah satu SD tersebut, Din Pawang Leman (68) seorang tokoh masyarakat dari Leupeung, lokasi SR tersebut masing-masing: SR seleretan SMU 1, sekarang SD 7 dan 9. SR di Jln Mohd Jam, sekarang pertokoan antara lain Supermarket Yusri.SR di Lampoh Jok Peuniti, sekarang SD 3 dan 42. SR di dekat Gudang Preman (Jln. T. Nyak Arief) depan Kantor DOLOG, sekarang SD 4 dan 15. SR di Kampung Jawa, sekarang sudah dibongkar. SR Neusuh, sekarang bangunan baru sebagai SD 32.
Tahun 1950 muncul satu-satunya Sekolah Rendah Islam (SRI) Al Qariah berlokasi di belakang Masjid Raya Baiturrahman. Tahun-tahun berikutnya muncul satu-satunya di Aceh yaitu SMA Negeri (SMU 1 sekarang). Dan Sekolah Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Gura Atas (SGA) menumpang pada ruang belakang Gereja Pante Pirak. Menjelang tahun 1956 muncul gedung baru untuk SGA berlantai 2 sederetan Kolam Renang Pante Pirak sekarang.
Peunayong dan Gudang Pereman
Sebelum Perang Dunia II, kalau anda keluar melancong sore dan pulang malam, ternyata ketahuan dari kawasan Peunayong di seberang Kali Aceh, jelas anda dicurigai sebagai baru pulang plesir dengan pelacur. Ternyata sarang si Kupu-Kupu Malam ini memang terkenal di kawasan Peunayong ketika itu. Beberapa pengakuan orang-orang lama, ketika itu obat penyakit perempuan (maksudnya Sipilis/ Raja singa- Pen) belum ada. Pasien-pasien yang diterima di Rumah Sakit Kuta Alam (sekarang Rumah Sakit Tentara) adalah si Hidung Belang yang terkena sipilis. Satu-satunya pertolongan yang mampu diusahakan dokter adalah memasukan slang karet ke lobang batang alat kelamin lalu menyemprotkan sejenis cairan. Dan si sakit sudah tentu berteriak-teriak kesakitan. Dengan pengobatan demikian ada yang sembuh namun tidak jarang yang tak mempan meninggal digerogoti penyakit perempuan tersebut.
Lomba perahu di Peunayong. Foto: www.antaranews.com |
Dan apa pula yang disebut "Gudang Preman" itu?
Maksudnya kalau ke jurusan Jln. T. Nyak Arief sekarang ini, dulu disebut Jln Krueng Raya atau Jln Gudang Preman. Jalan itu tidak sepanjang Jln. T. Nyak Arief sekarang, hanya sa
Sebelum tahun 1930-an, Kutaraja memang dalam keadaan remang remang di malam hari. Peneranganjalan hanya dengan lampu minyak yang dimasukan dalam kotak kaca (lentera) yang dipancangkan di tempat-tempat tertentu. Sementara toko-toko dan rumah-rumah orang kaya dan ambtenaar Belanda memakai lampu Strom King (Petromax) ukuran besar yang semprongnya macam jantung pisang. Jadi lampu yang diisi angin dengan pompa sepeda itu disebut juga lampu jantung.
Ternyata yang disebut Gudang Preman itu karena di salah satu sisi jalan yang sepi ini dulunya ada sebuah bangsal bekas gudang yang lokasinya kira-kira di belakang SD 4-15 sekarang. Tidak ada hubungan Gudang Preman dengan ke angkeran Jln. T. Nyak Arief itu. Preman yang dimaksud jangan disamakan sebagai sebutan untuk preman sekarang, sebagai tukang pukul, perampok maupun pencopet.
Menurut orang-orang lama, yang disebut preman itu dalam ejaan Belanda frijman. Atau dalam ejaan Inggris, freeman, adalah pria- pria yang tidak memiliki lapangan kerja tetap. Tepatnya "pria bebas" bahkan kaum penganggur pun dimasukan dalam jenis preman. Di bekas gudang itulah mereka berkumpul dan tinggal agar mudah ditemukan oleh para pembutuh tenaga kerja musiman. Kebanykan perman-preman itu terdiri dari perantau-perantau luar Aceh, semisal Jawa dan orang-orang Indonesia Bagian Timur. Bahkan pemerintah Belanda memberi mereka sekedar tunjangan.
Pusat perdagangan. Foto: wikimapia.org |
Ke Kandang Babi, apa pula itu? Tempo doeloe, kalau mau ke Jalan Teuku Umar arah ke Seutui orang akan mengatakan ke Kandang Babi. Ternyata dulu itu, semenjak Simpang Tiga Mata Ie sampai ke Taman Sari Baru atau Jln. Batee Kureng sekarang, lokasinya terdiri dari hutan pisang dan di dalam kebun pisang tersebut terdapat pemukiman kumuh, perkampungan orang Cina, khusus memelihara babi. Sampai tahun 1980, karena semenjak Simpang Jam sampai lewat Simpang Tiga Mata Ie telah berkembang menjadi kota, sisa-sisa peternak babi tersebut masih ada disekitar itu, agak masuk ke dalam dari Jembatan Goheng (sekarang Gedung SGO). Dan kemudian peternakan babi ini pindah ke Ujong Batee arah Krueng Raya, 15 Km dari kota. Begitu juga di jalan arah ke Seutu ini, ada satu kompleks yang disebut Kampung Keling, yang berseberangan dengan Kampung Blower (Sekarang Sukaramai). Sekarang ini di atas tanah kompleks Kampung Keling tersebut dibangun beberapa bangunan sebagai Taman Budaya Aceh. Yang disebut Kampung Keling itu terdiri dari sebaris kedai kayu berloteng sebanyak 16 pintu yang ditunjuk Belanda untuk hunian orang-orang India yang berprofesi sebagai laundry. Namun lokasi untuk etnis India lainnya berlokasi di Kampung Keudah. Di sini mereka memiliki rumah peribadatan. Tamil Temple untuk India Tamil dan Sikh Temple untuk India Sikh/Banggali.
Tempat hiburan
Beberapa orang lama mengatakan di Kutaraja sebelum Perang Dunia II memiliki 2 gedung kumedi gambar. Maksudnya gedung bioskop, masing-masing Deli Bioscope dan Rex Bioscope. Sebelum masuknya listrik ke Kutaraja, (kira-kira sebelum tahun 1930-an), pijar tembak bayanganfilm ke layar di pergunakan sinar lampu karbid yang sudah tentu hasilbayangannya tidak setajam proyektor listrik. Begitu juga filmnya yang hitam putih masih bisu dan proyektornya memiliki engkol untuk memutar film dengan tangan. Kalau tangan pegal tentu putarannya tidak tepat, lalu ditukar dengan tangan lainnya. Karena filmnya bisu, maka di barisan depan duduk sederetan pemain musik sebagai pengisi kebisuan itu. Baru kemudian Kutaraja kedatangan listrik dan sejalan dengan itu film pun sudah ada suara. Dua gedung bisokop yang dimaksud sekarang ini adalah Bioskop Garuda (Deli Bioscope) dan Rex, hanya tinggal hamparan pertapakan gedungnya yang dimanfaatkan oleh penjaja makanan di malam hari di kawasan depan Hotel Medan sekarang.
Setelah kemerdekaan di samping Bioskop Garuda yang penontonnya tingkat menengah ke atas, maka di Peunayong muncul satu bioskop namanya Tun Fang yang sekarang ini bernama Bisokop Merpati. Rumah-rumah hiburan kebanyakan didatangi oleh para petinggi Belanda yaitu disebut Kamar Bola yang dikemudian hari dikenal dengan BalaiTeuku Umar. Sayang bangunan yang berarsitek tempo doeloe itu yang memiliki ruangan yang luas telah dibongkar dan di sana berdiri seleretan pertokoan antara lain Sinbun Sibreh.
Dan tempat hiburan lainnya yang banyak dikunjungi oleh orang biasa dan anak-anak kapal adalah Taman Sari. Dulu sebagian orang gampong menyebutnya Taman Putroe Bungsu, karena di salah satu sisi taman ada sebuah patung porselen wanita cantik. Sampai sekarang di sana masih ada sebuah bangunan bundar bergaya lama sebagai pentas bermain musik, terutama di malam minggu.
Tempat rekreasi di luar kota ketika itu sangat sedikit, seperti Lhoknga, Mata Ie dan pantai Ulheelheue dimana khusus untuk orang-orang Belanda disediakan tempat mandi laut yang dipagari besi agar jangan diganggu oleh ikan buas berikut kamar mandi dan kamar pakaian. Tempat rekreasi Ulheelheue tersebut porak poranda ketika Kutaraja dilanda gempa besar sekitar tahun 1930-an. (*)
Dikuti dari: http://bioarabasta.blogspot.com/2013/05/banda-aceh-tempo-dulu-pelacur-di.html
Posting Komentar