Halloween Costume ideas 2015
Oktober 2013




Kami ini orang di pojok beranda besi tua
tak tahu arti mercy, permadani, deretan kursi di gedung mewah tempat kalian menciptakan proyek yang katanya atas nama pembangunan

Angka-angka rupiah melangit hanya kami tahu dari buku keramat yang setiap tahun kalian perdebatkan
atau bahkan mungkin kalian rekayasa atas nama kami, lalu pundi-pundi rupiah mengalir ke kantong kalian, rumah, mobil, kamar tidur sampai ke kolong meja kerja ber-Ac

Kami ini hanya orang di pojok beranda besi tua
hidup dari segenggam peluh bertekuk tubuh di dibakar sengatan matahari
tertatih di antara hiruk pikuk deru mesin penggilas jalananan di tengah kejamnya kehidupan
merintih, meratap, mereka-reka setiap jengkal perut dan harapan tentang apa yang bisa kami dapat esok hari
bilakah kalian mungkin bisa mendengar jerit tangis anak-anak kami di malam sunyi, yang tak dapat tertidur di atas dipan beralaskan kertas koran karena perutnya yang lapar
bilakah kalian bisa melihat asap dapur kami yang hanya terkadang mengepul di kala senja menggelayut
bilakah kalian datang dan merasakan apa yang terhidang di istana kami berlasakan dasar bumi
atau lihatlah di sana ada semangkuk nasi putih beraroma garam laut pemberian tangan-tangan pederma hari ini

Kami ini hanya orang di pojok beranda besi tua
kami tak tahu apa arti dari angka-angka ajaib yang selalu kalian perdebatkan di rumah mewah atas nama kami
kalian sibuk menghitung pundi-pundi untuk diri kalian sendiri
lihatlah...lihatlah...Si Agam yang tak lagi punya jembatan menyeberang saat pergi ke sekolah di kampungnya karena telah dimakan rayap
atau lihatlah Si Dek Nong yang sepatunya sudah bolong tanpa tas jinjing di tangannya karena sawah mereka habis dibabat tikus
hari-hari mereka tapaki dengan mengukur jembatan kehidupan penuh kecemasan

Tapi lihatlah kalian dengan pogahnya setiap akhir pekan menikmati lift menyusuri pusat-pusat belanja mewah berkelas
atau bersama anak istri bercengkrama ria di dalam Chamry yang kalian beli atas nama kami

Kami ini orang di pojok beranda besi tua
hanya butuh matahari


B. Aceh, 10-10-13

 Suara Peluit Isyarat Penemuan Korban

"Priiiittt... Priiiiittt... Priiiitt...," bunyi peluit dari dasar kawah. Agolo, Safety Officer Badan SAR Nasional (Basarnas) kaget dan bangun dari tempat duduknya. "Siapa itu, siapa yang tiup peluit?

Coba cari tahu, dan pastikan di mana posisi itu," katanya lewat Radio HT (handy talky) orange, warna khas Basarnas. Agolo tampak berdiri dengan posisi siaga. Matanya awas memandang ke dasar 'kawah jadian' dari atas ketinggian 100 meter. Selang beberapa detik kemudian bunyi peluit yang sama kembali terdengar dari arah longsoran

Desa Serempah, yang ambalas ke dasar bukit hingga membentuk kawah raksasa pasca gempa bumi 6,2 SR pada Selasa (2/7) pekan lalu. Bunyi itu terpancarkan dari reciver HT yang dipakai Tim Basarnas yang tengah mencari tujuh korban tertimbun runtuhan tanah Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.

"Ada bau mayat, ada belatung," suara dari dasar kawah yang jelas terdengar dari Radio HT beberapa petugas Basarnas yang berkumpul di pos pemantauan. Di pos ini, Agolo bersama beberapa relawan Basarnas lainnya mengendalikan dan memonitor pergerakan Tim SAR yang menyebar ke beberapa titik lokasi.

Tugas mereka adalah mencari tujuh korban yang masih tertimbun di dasar kawah berdiameter sekitar 500 meter persegi di kedalaman 100 meter. Bunyi peluit dalam operasi Tim SAR mencari korban adalah tanda emergensi dan harus segera direspons. Biasanya, tanda peluit itu menunjukkan adanya korban yang ditemukan, atau menjadi petunjuk kuat di mana korban tertimbun terlihat ke permukaan.

"Tolong hentikan, jangan bunyikan peluitnya, bisa confuse (bingung) nanti," kata Agolo memberi petunjuk begitu dilaporkan bahwa tidak ada korban yang ditemukan. Safety Officer Basarnas berbadan tegap itu juga mewanti-wanti kepada tim agar berhati-hati.

Operasi pencarian tujuh korban di kawah bekas runtuhnya Desa Serempah masih rawan. Beberapa kali terdengan call sign in (panggilan) kepada petugas penyelamat yang berada di dasar kawah agar berhati-hati terhadap pergerakan dinding kawah yang rawan longsor. Sementara itu, di dasar kawah juga tampak dua alat berat beko mengeruk timbunan tanah di pinggiran sungai untuk mencari korban. Juga tampak dari radius satu kilometer, sebuah pos monyet berbendera Merah Putih berada di dasar kawah.

Operasi pencarian korban melibatkan tim terpadu. Selain Basarnas pencarian korban juga dibantu aparat TNI/Polri. Satu unit amabulans juga stand by di lokasi. Hingga Senin (8/7) kemarin, upaya pencarian korban hilang terus dilakukan tim SAR di Dese Serempah yang ambruk ke dasar bukit. Menurut warga terdapat 11 korban tertimbun runtuhan tanah saat Serempah amblas ke dasar bukit. Lima di antaranya ditemukan tewas terdiri atas seorang lelaki dewasa, seorang wanita dan tiga anak. Korban terakhir seorang anak ditemukan tim Basarnas Minggu (7/3) siang kemarin. Sementara 7 lainnya diperkirakan masih terkubur di bawah timbunan longsor di lokasi kawah itu.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Minggu (7/3) merilis sebanyak 31 orang meninggal di kawasan Aceh Tengah, sementara 9 orang tewas di Kabupaten Bener Meriah. Sebanyak 63 orang luka berat masih dirawat di rumah sakit dan 2.362 orang menjalani rawat jalan. Sementara jumlah pengungsi mencapai 22.125 orang, dan sebanyak 15.919 rumah rusak. Tim Badan SAR Nasional masih terus menyisir lokasi untuk mencari enam korban lain yang tertimbun.

Upaya pencarian korban juga melibatkan squad pasukan khusus Basarnas Special Group (BSG) dari Jakarta, yang memiliki kemampuan dua kali lipat dibandingkan tim biasa.
"Upaya pencarian korban akan terus kita lakukan," kata Agolo yang dihubungi Serambi, tadi malam.
Para keluarga korban di Desa Serempah, kini hanya menunggu sebuah keajaiban dari peristiwa yang memilukan itu. "Saya tetap menunggu. Semoga kami bisa bertemu lagi, walau itu hanya sebatas jasadnya," kata Marzuki (35), yang kehilangan adiknya, Nekmat (30). Seiring Nekmat dan 10 korban lainya tertimbun dan perkirakan tewas, Serempah kini juga ikut berduka. Gempa 6,2 SR yang mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, Selasa (2/7) lalu telah melenyapkannya dari peta bumi. (ansari hasyim)


 

Ibu dan Anak Terkubur Longsoran

MUKMIN kelihatan lelah di bawah sengatan matahari. Di wajahnya menempel butiran debu dengan kulit tampak lebam. Siang itu ia hanya bisa duduk diam, menatap kawah raksasa di depannya yang terbentuk setelah Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah ambruk ke dasar bukit pascagempa 6,2 SR mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, Selasa (2/7) lalu.

Bagi Mukmin kawah raksasa berdiameter 500 meter persegi dengan kedalaman sekitar 100 meter itu menyimpan cerita yang tak bisa dilupakan. Di dasar kawah itulah, ia menemukan ibunya, Nawani (35) bersama adiknya, Rahdiko (1) tertimbun runtuhan tanah Desa Serempah. “Waktu ditemukan ibu lagi menggendong adik,” kata mahasiswa Universitas Gajah Putih, Takengon itu.

Mukmin seolah masih tak percaya tragedi runtuhnya Desa Serampah telah merenggut kedua orang terdekat dalam hidupnya. Saat ditemui Serambi, Sabtu (6/7) lalu, ia baru saja mengangkut barang-barang yang tersisa di bekas rumahnya di desa berpenduduk 74 KK itu. “Bangunan depan rumah runtuh ke bawah. Bagian dapur saja yang tersisa. Sekarang tidak bisa ditempati lagi,” ujarnya.

Saat gempa menguncang Mukmin sedang memperbaiki sepeda motor di Blang Mancung, Kecamatan Ketol. Setelah gempa berhenti ia pulang ke desa. Namun ia menemukan pemandangan mengerikan. Desa itu telah berubah menjadi kawah raksasa, belasan rumah warga termasuk rumahnya telah amblas. Harapan bisa bertemu ibu dan adik-adiknya sirna. “Hari itu juga saya turun ke bawah, dan menemukan ibu dan adik sudah tertimbun,” katanya.

Menurut kesaksian warga runtuhnya Desa Serempah ke dasar bukit berlangsung dramatis. Sebagian besar penduduk saat itu tengah beraktivitas di sawah, kebun dan ladang. Tiba-tiba tanah Desa Serempah bergoncang hebat. Suara gemuruh dari perut bumi terdengar jelas oleh warga. Pohon-pohon di atas perbukitan seperti ‘menari-nari’, disertai bunyi dentuman tanah amblas dan bangunan ambruk.

Sementara itu, pukul 14.37 WIB saat gempa terjadi, Marzuki (35), seorang warga setempat lainnya, yang berada tak jauh dari lokasi runtuhnya tanah Desa Serempah, hanya bisa tercengang melihat detik-detik detik-detik desai lenyap dari peta bumi. “Waktu mau runtuh terdengar suara gemuruh dan getaran hebat dari dalam tanah. Cuma dua menit berselang, semuanya sudah hancur lebur jatuh ke bawah,” ujarnya.

Menyaksikan pemandangan itu, Marzuki lari menyelamatkan diri ke sawah bersama istrinya Sufiati (25) dan seorang anaknya Misnawati (4). Meski selamat dari musibah itu, namun Marzuki turut merasakan duka mendalam. Ia kehilangan adik kandungnya, Nekmat (30). Lelaki ini diduga masih tertimbun dalam tanah. Nekmat waktu itu terlihat tengah memancing di sungai dekat tebing yang longsor. “Sampai sekarang dia tidak pulang lagi,” katanya.

Korban meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Marzuki masih berharap dapat menemukan jasad adiknya itu. “Saya selalu menunggu di sini berharap dia bisa ditemukan,” kata Marzuki yang terus mengikuti perkembangan tim Basarnas menyisir lokasi.

Hebatnya guncangan gempa disertai longsornya bukit di Serempah juga dirasakan Sanen (50). Saat gempa terjadi ia berada di kebun. Namun tiba-tiba tanah dari atas bukti runtuh dan menimbun setengah badannya. Makin lama tanah bercampur lumpur itu makin tinggi hingga mencapai mulutnya. Saat itu tanah terus berguguran dari dinding bukit akibat getaran gempa.

Senen yang sudah ringkih berjuang sekuat tenaga membebaskan diri dari tanah yang menghimpit tubuhnya. Beruntung, akhirnya ia bisa keluar dan lepas dari maut. “Saya sudah tak ingat apa-apa lagi waktu itu. Yang terpikir saya ingin pulang melihat anak saya,” ujarnya saat ditemui di Posko Pengungsian Kutagelime, Kecamatan Ketol, bersama 17 KK penduduk Desa Serempah lainnya, Minggu (7/7).


Tapi lelaki itu kini masih terus dirundung kesedihan. Anaknya, Sabri (23) sampai saat ini belum ditemukan. Istri korban, Dewi Mariani (20) bersama anak semata wayang mereka, Sri Murni (1,7) ikut mengungsi ke posko. Padahal, pasangan ini baru lima hari merasakan tinggal di rumah sendiri di Desa Serempah. Namun kini, semuanya hanya tinggal mimpi.

Selain kehilangan harta, tulang punggung keluarga kecil itu juga telah pergi untuk selamanya bersama tragedi runtuhnya Serempah di dasar bumi. “Saya berdoa dia bisa segera ditemukan,” kata Dewi lirih sambil mengendong anaknya. (bersambung)



Membentuk Kawah Raksasa, Menimbun 11 Warga

PENGANTAR REDAKSI: Gempa bumi yang melanda wilayah dataran tinggi Gaya, Selasa (2/7) lalu, banyak menyisakan cerita duka. Wartawan Serambi, Ansari Hasyim, coba mengungkap berbagai cerita duka tersebut langsung dari lokasi bencana, di Aceh Tengah dan Bener Meriah, dalam tiga laporannya yang mulai kami turunkan edisi ini.

                                                        *    *    *

SEREMPAH, desa di kaki bukit itu kini hanya tinggal kenangan. Gempa berkekuatan 6,2 skala richter yang menguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah Selasa (2/7) lalu telah melenyapkannya dari peta bumi. Tragedi kemanusiaan di Serempah menyisakan duka mendalam bagi penduduk setempat. Belasan rumah, harta benda, dan fasilitas publik hilang tak berjejak tertimbun longsoran tanah.

Longsoran itu membentuk kawah raksasa berdiameter sekitar 500 meter persegi dengan kedalaman sekitar 100 meter. Bila dilihat dari atas bukit, persis menyerupai lokasi meteor jatuh dari langit. Tidak hanya rumah, di dasar tanah bekas runtuhnya Serempah terdapat 11 warga tertimbun. “Baru empat orang yang sudah ditemukan. Tujuh lainnya masih dalam pencarian,” kata Marzuki (35), seorang warga yang ditemui Serambi di lokasi, Sabtu (6/7).

Desa Serempah terletak di Kecamatan Ketol, Aceh Tengah. Di sini kanan dan kiri diapit tebing dan bebukitan terjal. Di bawahnya mengalir sebuah sungai dengan air yang jernih sebagai sumber kehidupan warga. Pascagempa, sungai itu kini telah menguning karena tertimbun tanah yang runtuh dari tebing. Tanah pebukitan tersebut begitu mudah runtuh bila ada getaran gempa, karena konturnya yang labil, gembur, dan nyaris tak mengandung bebatuan.

Serambi yang memasuki Desa Serempah, Sabtu (6/7) siang, juga menyaksikan sepanjangan jalan sebelah kanan dengan radius sekitar 500 meter masih terlihat abu berterbangan dari dinding tebing dan bukit. Ini menandakan, tebing dengan kontur tanah yang labil itu diperkirakan kembali runtuh bila gempa susulan terjadi. Tampak juga pohon-pohon berukuran besar dan tinggi tumbang dan miring karena dihantam tanah yang longsor dari tebing saat gempa terjadi.





Pemandangan lebih miris, warga Serempah kini telah menjauh dari desa kelahirannya. Nyaris tidak ada warga yang berani tinggal lagi di tanah yang tersisa dalam desa itu. Selain kondisinya sudah rusak, wilayah di atas pebukitan mulai retak dan sesekali dapat mengancam jiwa warga. “Warga sudah tak berani lagi tinggal di sini. Sebab, tanah di kawasan ini sepertinya sudah tidak kuat lagi menahan goncangan. Sekarang kami mengungsi di Kutagelime,” kata Marzuki.

Desa Serempah kini hanya bisa dilewati oleh kalangan tertentu saja. Upaya ini dilakukan demi keamanan, karena lokasi Serempah sudah tidak stabil lagi dan sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa. Akses menuju Serempah hanya diperbolehkan untuk wartawan, tim relawan, aparat keamanan yang hingga kemarin masih melakukan proses pencarian tujuh warga yang masih tertimbun di dasar longsoran.


Selain itu, akses masuk ke Serempah, tepatnya di perbatasan Desa Bah, Kecamatan Ketol, hanya diberikan kepada warga dan saudara keluarga korban yang ingin melihat kondisi rumah. Tragedi di Serempah ini juga banyak menyedot perhatian warga yang hanya sekadar datang untuk melihat dan memastikan, apakah ada kerabat atau sanak keluarganya yang jadi korban.

Peristiwa runtuhnya Desa Serempah ke dasar bukit juga menutup akses menuju beberapa desa lainnya, yaitu Kukuyang, Bugara, Simpang Tiga dan Berawang Gajah. Serempah dihuni sekitar 74 kepala keluarga. Mayoritas penduduk setempat adalah petani dan peladang. Bagian tanah yang amblas ke dasar bukit terdapat fasilitas publik seperti Polindes dan belasan rumah.

Menurut keterangan warga setempat, rumah-rumah yang amblas tersebut milik Syamsudin, Arman (kepala desa), Selamat (sekeretaris desa), Dahlan, Mukmin, Aman Lida, Aman Kurnia, Daud Bereh, Abdul Wahab, Aman Pardi, Karya dan Rubiah. Untuk mencapai Serempah dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari Takengon. Namun jalan menuju ke sana tidak dapat diakses karena masih ditutupi longsoran.


Warga yang hendak ke Serempah harus melalui jalan ke mengitari Bukit Sama (Jalan Bireuen-Tekengon) di Kabupaten Bener Meriah dengan waktu tempuh sekitar dua 2,5 jam perjalanan. Kini, jika kita melewati lintasan ini, tampak sejumlah warga termasuk anak-anak mengulurkan kotak sumbangan kepada pengguna jalan. Bekas longsoran bukit dan jalanan yang retak dapat dengan mudah ditemui. Medan semakin berat terasa saat memasuki perbatasan Aceh Tengah-Bener Meriah.

Kondisi jalan tersebut banyak yang rusak, menanjak dan berdebu. Tak jauh setelah memasuki wilayah perbatasan kondisi kerusakan parah mulai terlihat. Rumah-rumah banyak rubuh, retak dan beberapa di antara pemilik mendirikan tenda. Serambi berhasil masuk ke Serempah sekitar pukul 13.30 wib. Truk tentara mulai terlihat hilir mudik keluar masuk Serempah, termasuk para relawan, dan ambulans terparkir siaga. Tepat di lokasi amburuknya Desa Serempah ke dasar bukit masih terus menjadi fokus relawan Basarnas mencari tujuh korban yang masih hilang tertimbun longsor. (bersambung)






Diterbitkan Harian Serambi Indonesia Minggu, 7 Juli 2013

20 Oktober 2013

Balada Kami Anak Negeri




Kami ini orang di pojok beranda besi tua
tak tahu arti mercy, permadani, deretan kursi di gedung mewah tempat kalian menciptakan proyek yang katanya atas nama pembangunan

Angka-angka rupiah melangit hanya kami tahu dari buku keramat yang setiap tahun kalian perdebatkan
atau bahkan mungkin kalian rekayasa atas nama kami, lalu pundi-pundi rupiah mengalir ke kantong kalian, rumah, mobil, kamar tidur sampai ke kolong meja kerja ber-Ac

Kami ini hanya orang di pojok beranda besi tua
hidup dari segenggam peluh bertekuk tubuh di dibakar sengatan matahari
tertatih di antara hiruk pikuk deru mesin penggilas jalananan di tengah kejamnya kehidupan
merintih, meratap, mereka-reka setiap jengkal perut dan harapan tentang apa yang bisa kami dapat esok hari
bilakah kalian mungkin bisa mendengar jerit tangis anak-anak kami di malam sunyi, yang tak dapat tertidur di atas dipan beralaskan kertas koran karena perutnya yang lapar
bilakah kalian bisa melihat asap dapur kami yang hanya terkadang mengepul di kala senja menggelayut
bilakah kalian datang dan merasakan apa yang terhidang di istana kami berlasakan dasar bumi
atau lihatlah di sana ada semangkuk nasi putih beraroma garam laut pemberian tangan-tangan pederma hari ini

Kami ini hanya orang di pojok beranda besi tua
kami tak tahu apa arti dari angka-angka ajaib yang selalu kalian perdebatkan di rumah mewah atas nama kami
kalian sibuk menghitung pundi-pundi untuk diri kalian sendiri
lihatlah...lihatlah...Si Agam yang tak lagi punya jembatan menyeberang saat pergi ke sekolah di kampungnya karena telah dimakan rayap
atau lihatlah Si Dek Nong yang sepatunya sudah bolong tanpa tas jinjing di tangannya karena sawah mereka habis dibabat tikus
hari-hari mereka tapaki dengan mengukur jembatan kehidupan penuh kecemasan

Tapi lihatlah kalian dengan pogahnya setiap akhir pekan menikmati lift menyusuri pusat-pusat belanja mewah berkelas
atau bersama anak istri bercengkrama ria di dalam Chamry yang kalian beli atas nama kami

Kami ini orang di pojok beranda besi tua
hanya butuh matahari


B. Aceh, 10-10-13

Serempah, Kampung yang Hilang (3-Habis)

 Suara Peluit Isyarat Penemuan Korban

"Priiiittt... Priiiiittt... Priiiitt...," bunyi peluit dari dasar kawah. Agolo, Safety Officer Badan SAR Nasional (Basarnas) kaget dan bangun dari tempat duduknya. "Siapa itu, siapa yang tiup peluit?

Coba cari tahu, dan pastikan di mana posisi itu," katanya lewat Radio HT (handy talky) orange, warna khas Basarnas. Agolo tampak berdiri dengan posisi siaga. Matanya awas memandang ke dasar 'kawah jadian' dari atas ketinggian 100 meter. Selang beberapa detik kemudian bunyi peluit yang sama kembali terdengar dari arah longsoran

Desa Serempah, yang ambalas ke dasar bukit hingga membentuk kawah raksasa pasca gempa bumi 6,2 SR pada Selasa (2/7) pekan lalu. Bunyi itu terpancarkan dari reciver HT yang dipakai Tim Basarnas yang tengah mencari tujuh korban tertimbun runtuhan tanah Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.

"Ada bau mayat, ada belatung," suara dari dasar kawah yang jelas terdengar dari Radio HT beberapa petugas Basarnas yang berkumpul di pos pemantauan. Di pos ini, Agolo bersama beberapa relawan Basarnas lainnya mengendalikan dan memonitor pergerakan Tim SAR yang menyebar ke beberapa titik lokasi.

Tugas mereka adalah mencari tujuh korban yang masih tertimbun di dasar kawah berdiameter sekitar 500 meter persegi di kedalaman 100 meter. Bunyi peluit dalam operasi Tim SAR mencari korban adalah tanda emergensi dan harus segera direspons. Biasanya, tanda peluit itu menunjukkan adanya korban yang ditemukan, atau menjadi petunjuk kuat di mana korban tertimbun terlihat ke permukaan.

"Tolong hentikan, jangan bunyikan peluitnya, bisa confuse (bingung) nanti," kata Agolo memberi petunjuk begitu dilaporkan bahwa tidak ada korban yang ditemukan. Safety Officer Basarnas berbadan tegap itu juga mewanti-wanti kepada tim agar berhati-hati.

Operasi pencarian tujuh korban di kawah bekas runtuhnya Desa Serempah masih rawan. Beberapa kali terdengan call sign in (panggilan) kepada petugas penyelamat yang berada di dasar kawah agar berhati-hati terhadap pergerakan dinding kawah yang rawan longsor. Sementara itu, di dasar kawah juga tampak dua alat berat beko mengeruk timbunan tanah di pinggiran sungai untuk mencari korban. Juga tampak dari radius satu kilometer, sebuah pos monyet berbendera Merah Putih berada di dasar kawah.

Operasi pencarian korban melibatkan tim terpadu. Selain Basarnas pencarian korban juga dibantu aparat TNI/Polri. Satu unit amabulans juga stand by di lokasi. Hingga Senin (8/7) kemarin, upaya pencarian korban hilang terus dilakukan tim SAR di Dese Serempah yang ambruk ke dasar bukit. Menurut warga terdapat 11 korban tertimbun runtuhan tanah saat Serempah amblas ke dasar bukit. Lima di antaranya ditemukan tewas terdiri atas seorang lelaki dewasa, seorang wanita dan tiga anak. Korban terakhir seorang anak ditemukan tim Basarnas Minggu (7/3) siang kemarin. Sementara 7 lainnya diperkirakan masih terkubur di bawah timbunan longsor di lokasi kawah itu.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Minggu (7/3) merilis sebanyak 31 orang meninggal di kawasan Aceh Tengah, sementara 9 orang tewas di Kabupaten Bener Meriah. Sebanyak 63 orang luka berat masih dirawat di rumah sakit dan 2.362 orang menjalani rawat jalan. Sementara jumlah pengungsi mencapai 22.125 orang, dan sebanyak 15.919 rumah rusak. Tim Badan SAR Nasional masih terus menyisir lokasi untuk mencari enam korban lain yang tertimbun.

Upaya pencarian korban juga melibatkan squad pasukan khusus Basarnas Special Group (BSG) dari Jakarta, yang memiliki kemampuan dua kali lipat dibandingkan tim biasa.
"Upaya pencarian korban akan terus kita lakukan," kata Agolo yang dihubungi Serambi, tadi malam.
Para keluarga korban di Desa Serempah, kini hanya menunggu sebuah keajaiban dari peristiwa yang memilukan itu. "Saya tetap menunggu. Semoga kami bisa bertemu lagi, walau itu hanya sebatas jasadnya," kata Marzuki (35), yang kehilangan adiknya, Nekmat (30). Seiring Nekmat dan 10 korban lainya tertimbun dan perkirakan tewas, Serempah kini juga ikut berduka. Gempa 6,2 SR yang mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, Selasa (2/7) lalu telah melenyapkannya dari peta bumi. (ansari hasyim)

Serempah, Kampung yang Hilang (2)


 

Ibu dan Anak Terkubur Longsoran

MUKMIN kelihatan lelah di bawah sengatan matahari. Di wajahnya menempel butiran debu dengan kulit tampak lebam. Siang itu ia hanya bisa duduk diam, menatap kawah raksasa di depannya yang terbentuk setelah Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah ambruk ke dasar bukit pascagempa 6,2 SR mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, Selasa (2/7) lalu.

Bagi Mukmin kawah raksasa berdiameter 500 meter persegi dengan kedalaman sekitar 100 meter itu menyimpan cerita yang tak bisa dilupakan. Di dasar kawah itulah, ia menemukan ibunya, Nawani (35) bersama adiknya, Rahdiko (1) tertimbun runtuhan tanah Desa Serempah. “Waktu ditemukan ibu lagi menggendong adik,” kata mahasiswa Universitas Gajah Putih, Takengon itu.

Mukmin seolah masih tak percaya tragedi runtuhnya Desa Serampah telah merenggut kedua orang terdekat dalam hidupnya. Saat ditemui Serambi, Sabtu (6/7) lalu, ia baru saja mengangkut barang-barang yang tersisa di bekas rumahnya di desa berpenduduk 74 KK itu. “Bangunan depan rumah runtuh ke bawah. Bagian dapur saja yang tersisa. Sekarang tidak bisa ditempati lagi,” ujarnya.

Saat gempa menguncang Mukmin sedang memperbaiki sepeda motor di Blang Mancung, Kecamatan Ketol. Setelah gempa berhenti ia pulang ke desa. Namun ia menemukan pemandangan mengerikan. Desa itu telah berubah menjadi kawah raksasa, belasan rumah warga termasuk rumahnya telah amblas. Harapan bisa bertemu ibu dan adik-adiknya sirna. “Hari itu juga saya turun ke bawah, dan menemukan ibu dan adik sudah tertimbun,” katanya.

Menurut kesaksian warga runtuhnya Desa Serempah ke dasar bukit berlangsung dramatis. Sebagian besar penduduk saat itu tengah beraktivitas di sawah, kebun dan ladang. Tiba-tiba tanah Desa Serempah bergoncang hebat. Suara gemuruh dari perut bumi terdengar jelas oleh warga. Pohon-pohon di atas perbukitan seperti ‘menari-nari’, disertai bunyi dentuman tanah amblas dan bangunan ambruk.

Sementara itu, pukul 14.37 WIB saat gempa terjadi, Marzuki (35), seorang warga setempat lainnya, yang berada tak jauh dari lokasi runtuhnya tanah Desa Serempah, hanya bisa tercengang melihat detik-detik detik-detik desai lenyap dari peta bumi. “Waktu mau runtuh terdengar suara gemuruh dan getaran hebat dari dalam tanah. Cuma dua menit berselang, semuanya sudah hancur lebur jatuh ke bawah,” ujarnya.

Menyaksikan pemandangan itu, Marzuki lari menyelamatkan diri ke sawah bersama istrinya Sufiati (25) dan seorang anaknya Misnawati (4). Meski selamat dari musibah itu, namun Marzuki turut merasakan duka mendalam. Ia kehilangan adik kandungnya, Nekmat (30). Lelaki ini diduga masih tertimbun dalam tanah. Nekmat waktu itu terlihat tengah memancing di sungai dekat tebing yang longsor. “Sampai sekarang dia tidak pulang lagi,” katanya.

Korban meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Marzuki masih berharap dapat menemukan jasad adiknya itu. “Saya selalu menunggu di sini berharap dia bisa ditemukan,” kata Marzuki yang terus mengikuti perkembangan tim Basarnas menyisir lokasi.

Hebatnya guncangan gempa disertai longsornya bukit di Serempah juga dirasakan Sanen (50). Saat gempa terjadi ia berada di kebun. Namun tiba-tiba tanah dari atas bukti runtuh dan menimbun setengah badannya. Makin lama tanah bercampur lumpur itu makin tinggi hingga mencapai mulutnya. Saat itu tanah terus berguguran dari dinding bukit akibat getaran gempa.

Senen yang sudah ringkih berjuang sekuat tenaga membebaskan diri dari tanah yang menghimpit tubuhnya. Beruntung, akhirnya ia bisa keluar dan lepas dari maut. “Saya sudah tak ingat apa-apa lagi waktu itu. Yang terpikir saya ingin pulang melihat anak saya,” ujarnya saat ditemui di Posko Pengungsian Kutagelime, Kecamatan Ketol, bersama 17 KK penduduk Desa Serempah lainnya, Minggu (7/7).


Tapi lelaki itu kini masih terus dirundung kesedihan. Anaknya, Sabri (23) sampai saat ini belum ditemukan. Istri korban, Dewi Mariani (20) bersama anak semata wayang mereka, Sri Murni (1,7) ikut mengungsi ke posko. Padahal, pasangan ini baru lima hari merasakan tinggal di rumah sendiri di Desa Serempah. Namun kini, semuanya hanya tinggal mimpi.

Selain kehilangan harta, tulang punggung keluarga kecil itu juga telah pergi untuk selamanya bersama tragedi runtuhnya Serempah di dasar bumi. “Saya berdoa dia bisa segera ditemukan,” kata Dewi lirih sambil mengendong anaknya. (bersambung)

19 Oktober 2013

Serempah, Kampung yang Hilang (1)



Membentuk Kawah Raksasa, Menimbun 11 Warga

PENGANTAR REDAKSI: Gempa bumi yang melanda wilayah dataran tinggi Gaya, Selasa (2/7) lalu, banyak menyisakan cerita duka. Wartawan Serambi, Ansari Hasyim, coba mengungkap berbagai cerita duka tersebut langsung dari lokasi bencana, di Aceh Tengah dan Bener Meriah, dalam tiga laporannya yang mulai kami turunkan edisi ini.

                                                        *    *    *

SEREMPAH, desa di kaki bukit itu kini hanya tinggal kenangan. Gempa berkekuatan 6,2 skala richter yang menguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah Selasa (2/7) lalu telah melenyapkannya dari peta bumi. Tragedi kemanusiaan di Serempah menyisakan duka mendalam bagi penduduk setempat. Belasan rumah, harta benda, dan fasilitas publik hilang tak berjejak tertimbun longsoran tanah.

Longsoran itu membentuk kawah raksasa berdiameter sekitar 500 meter persegi dengan kedalaman sekitar 100 meter. Bila dilihat dari atas bukit, persis menyerupai lokasi meteor jatuh dari langit. Tidak hanya rumah, di dasar tanah bekas runtuhnya Serempah terdapat 11 warga tertimbun. “Baru empat orang yang sudah ditemukan. Tujuh lainnya masih dalam pencarian,” kata Marzuki (35), seorang warga yang ditemui Serambi di lokasi, Sabtu (6/7).

Desa Serempah terletak di Kecamatan Ketol, Aceh Tengah. Di sini kanan dan kiri diapit tebing dan bebukitan terjal. Di bawahnya mengalir sebuah sungai dengan air yang jernih sebagai sumber kehidupan warga. Pascagempa, sungai itu kini telah menguning karena tertimbun tanah yang runtuh dari tebing. Tanah pebukitan tersebut begitu mudah runtuh bila ada getaran gempa, karena konturnya yang labil, gembur, dan nyaris tak mengandung bebatuan.

Serambi yang memasuki Desa Serempah, Sabtu (6/7) siang, juga menyaksikan sepanjangan jalan sebelah kanan dengan radius sekitar 500 meter masih terlihat abu berterbangan dari dinding tebing dan bukit. Ini menandakan, tebing dengan kontur tanah yang labil itu diperkirakan kembali runtuh bila gempa susulan terjadi. Tampak juga pohon-pohon berukuran besar dan tinggi tumbang dan miring karena dihantam tanah yang longsor dari tebing saat gempa terjadi.





Pemandangan lebih miris, warga Serempah kini telah menjauh dari desa kelahirannya. Nyaris tidak ada warga yang berani tinggal lagi di tanah yang tersisa dalam desa itu. Selain kondisinya sudah rusak, wilayah di atas pebukitan mulai retak dan sesekali dapat mengancam jiwa warga. “Warga sudah tak berani lagi tinggal di sini. Sebab, tanah di kawasan ini sepertinya sudah tidak kuat lagi menahan goncangan. Sekarang kami mengungsi di Kutagelime,” kata Marzuki.

Desa Serempah kini hanya bisa dilewati oleh kalangan tertentu saja. Upaya ini dilakukan demi keamanan, karena lokasi Serempah sudah tidak stabil lagi dan sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa. Akses menuju Serempah hanya diperbolehkan untuk wartawan, tim relawan, aparat keamanan yang hingga kemarin masih melakukan proses pencarian tujuh warga yang masih tertimbun di dasar longsoran.


Selain itu, akses masuk ke Serempah, tepatnya di perbatasan Desa Bah, Kecamatan Ketol, hanya diberikan kepada warga dan saudara keluarga korban yang ingin melihat kondisi rumah. Tragedi di Serempah ini juga banyak menyedot perhatian warga yang hanya sekadar datang untuk melihat dan memastikan, apakah ada kerabat atau sanak keluarganya yang jadi korban.

Peristiwa runtuhnya Desa Serempah ke dasar bukit juga menutup akses menuju beberapa desa lainnya, yaitu Kukuyang, Bugara, Simpang Tiga dan Berawang Gajah. Serempah dihuni sekitar 74 kepala keluarga. Mayoritas penduduk setempat adalah petani dan peladang. Bagian tanah yang amblas ke dasar bukit terdapat fasilitas publik seperti Polindes dan belasan rumah.

Menurut keterangan warga setempat, rumah-rumah yang amblas tersebut milik Syamsudin, Arman (kepala desa), Selamat (sekeretaris desa), Dahlan, Mukmin, Aman Lida, Aman Kurnia, Daud Bereh, Abdul Wahab, Aman Pardi, Karya dan Rubiah. Untuk mencapai Serempah dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari Takengon. Namun jalan menuju ke sana tidak dapat diakses karena masih ditutupi longsoran.


Warga yang hendak ke Serempah harus melalui jalan ke mengitari Bukit Sama (Jalan Bireuen-Tekengon) di Kabupaten Bener Meriah dengan waktu tempuh sekitar dua 2,5 jam perjalanan. Kini, jika kita melewati lintasan ini, tampak sejumlah warga termasuk anak-anak mengulurkan kotak sumbangan kepada pengguna jalan. Bekas longsoran bukit dan jalanan yang retak dapat dengan mudah ditemui. Medan semakin berat terasa saat memasuki perbatasan Aceh Tengah-Bener Meriah.

Kondisi jalan tersebut banyak yang rusak, menanjak dan berdebu. Tak jauh setelah memasuki wilayah perbatasan kondisi kerusakan parah mulai terlihat. Rumah-rumah banyak rubuh, retak dan beberapa di antara pemilik mendirikan tenda. Serambi berhasil masuk ke Serempah sekitar pukul 13.30 wib. Truk tentara mulai terlihat hilir mudik keluar masuk Serempah, termasuk para relawan, dan ambulans terparkir siaga. Tepat di lokasi amburuknya Desa Serempah ke dasar bukit masih terus menjadi fokus relawan Basarnas mencari tujuh korban yang masih hilang tertimbun longsor. (bersambung)






Diterbitkan Harian Serambi Indonesia Minggu, 7 Juli 2013

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget