Halloween Costume ideas 2015
2013


Krueng Aceh di Peunayong malam hari. Foto aidiaphotography.blogspot.com
KITA tidak tahu apakah ketika tahun 1205 M sebagai awal ditetapkan lahirnya kota Banda Aceh, apakah nama tersebut memang Banda Aceh (Bandar Aceh) atau ada yang lain. Kalau direnung-renungkan, kiranya jauh lebih tua Banda Aceh dengan Malaka, atawa pusat kerajaan Islam Moghul di Delhi India maupun beberapa kesultanan di Indonesia Bagian Timur. Tapi mana sisa-sisa sebuah kota yang berpredikat bandar itu?

Tanpa mengecilkan arti benar tidaknya ada sebuah bandar hebat ketika itu, siapapun mengakui yang tahun 1205 M itu adalah munculnya kerajaan Aceh Darussalam dengan Sultan pertamanya Alaidin Johan Syah. Mungkin saja ibu kota kerajaan itu memang di Banda Aceh sekarang yang jaraknya 5 KM dari lalulintas samudera ketimbang sebuah kota sebagai bandar pelabuhan seperti Malaka, Makassar dll, yang juga muncul di abad-abad lampau.

Sebagian kita barangkali telah terbawa arus berimajinasi dari orang-orang tertentu zaman kini tentang adanya sebuah kota berstatus bandar pelabuhan yang sibuk. Imajinasi-imajinasi demikian membuat kita menerima saja akan sesuatu, sebagai meyakinkan bahwa kita juga memiliki sebuah kota macam Malaka, Palembang, Bengkulu dll lagi. Sekali lagi tanpa mengecilkan arti keberadaan sejarah yang pernah melintas di negeri ini, kita cukup bangga dengan runutan para Sultan dan Sultanah yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam yang memang jelas ada dan bahkan telah berpengaruh sampai ke tingkat internasional pada abad-abad lalu tersebut.
Salah satu sudut Peunayong. Foto: www.tribunnews.com
Rex, Pusat Jajanan Malam. Foto: inbandaaceh.com

Dari berbagai catatan, diperoleh data tanpa mengecilkan arti Banda Aceh yang telah berusia lebih 7 abad ini, tentang lebih mencuatnya beberapa pelabuhan di Pantai Barat yang berhadapan dengan Samudera Hindia, tanpa predikat bandar, semenjak dari Negeri Barus sampai ke kawasan Aceh Besar. Dalam peta-peta kuno jalur pelayaran para nakoda asing, tercantum nama-nama pelabuhan yang pada jadwal-jadwal tertentu mereka wajib singgah untuk membeli ataupun membarter berbagai jenis rempah-rempah. Baiklah kita telusuri peta kuno para pelaut asing tersebut seperti yang diungkapkan dalam buku Aceh Sepanjang Abad oleh Mohd.Said. Adalah pelabuhan-pelabuhan tersebut berikut ini dalam ejaan lidah pelaut asing, yakni: Barus, Tepus, Singkli (Singkil), Trumon, Mukki (Meukek), Labonarge (Labuhanhaji), Talafao (Lhokpaoh), Susu/Pulo Kiyu (Susoh/Pulau Kayu), Qualah Batto (Kuala Batee), Rigas (Rigah), Kluwang (Keuluang) dan Anambelu (diperkirakan pelabuhan Inong Balee-Pen).

Mereka, pelaut-pelaut asing itu tidak mencantumkan adanya Sibolga, Tapaktuan, Meulaboh, Calang, maupun Banda (Bandar) Aceh. Lagi-lagi tanpa mengecilkan arti sebuah nama, semua orang mengakui bahwa keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam dengan petinggi pertamanya Sultan Alaidin Johan Syah memang telah ada semenjak 795 tahun lalu. Dengan Perda Aceh No. 5/1988, ditetapkanlah tanggal keberadaan Banda Aceh bertepatan dengan hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H, atau 22 April 1205 M. Namun apakah ada tidaknya sebuah bandar (kota pelabuhan) ketimbang ibu kota sebuah kerajaan yang berwibawa, para peneliti sejarah jugalah yang mampu mengungkapkannya. Wallahualam bissawab.


Cuma 6 Sekolah Dasar
Setelah penyerahan kedaulatan 1949, Banda Aceh yang disebut sebagai Kutaraja hanya memiliki 5 Sekolah Dasar (SD) yang ketika itu disebut Sekolah Rakyat (SR). Menurut salah seorang murid dari salah satu SD tersebut, Din Pawang Leman (68) seorang tokoh masyarakat dari Leupeung, lokasi SR tersebut masing-masing: SR seleretan SMU 1, sekarang SD 7 dan 9. SR di Jln Mohd Jam, sekarang pertokoan antara lain Supermarket Yusri.SR di Lampoh Jok Peuniti, sekarang SD 3 dan 42. SR di dekat Gudang Preman (Jln. T. Nyak Arief) depan Kantor DOLOG, sekarang SD 4 dan 15. SR di Kampung Jawa, sekarang sudah dibongkar. SR Neusuh, sekarang bangunan baru sebagai SD 32.

Tahun 1950 muncul satu-satunya Sekolah Rendah Islam (SRI) Al Qariah berlokasi di belakang Masjid Raya Baiturrahman. Tahun-tahun berikutnya muncul satu-satunya di Aceh yaitu SMA Negeri (SMU 1 sekarang). Dan Sekolah Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Gura Atas (SGA) menumpang pada ruang belakang Gereja Pante Pirak. Menjelang tahun 1956 muncul gedung baru untuk SGA berlantai 2 sederetan Kolam Renang Pante Pirak sekarang.

Peunayong dan Gudang Pereman
Sebelum Perang Dunia II, kalau anda keluar melancong sore dan pulang malam, ternyata ketahuan dari kawasan Peunayong di seberang Kali Aceh, jelas anda dicurigai sebagai baru pulang plesir dengan pelacur. Ternyata sarang si Kupu-Kupu Malam ini memang terkenal di kawasan Peunayong ketika itu. Beberapa pengakuan orang-orang lama, ketika itu obat penyakit perempuan (maksudnya Sipilis/ Raja singa- Pen) belum ada. Pasien-pasien yang diterima di Rumah Sakit Kuta Alam (sekarang Rumah Sakit Tentara) adalah si Hidung Belang yang terkena sipilis. Satu-satunya pertolongan yang mampu diusahakan dokter adalah memasukan slang karet ke lobang batang alat kelamin lalu menyemprotkan sejenis cairan. Dan si sakit sudah tentu berteriak-teriak kesakitan. Dengan pengobatan demikian ada yang sembuh namun tidak jarang yang tak mempan meninggal digerogoti penyakit perempuan tersebut.
Lomba perahu di Peunayong. Foto: www.antaranews.com

Dan apa pula yang disebut "Gudang Preman" itu?
Maksudnya kalau ke jurusan Jln. T. Nyak Arief sekarang ini, dulu disebut Jln Krueng Raya atau Jln Gudang Preman. Jalan itu tidak sepanjang Jln. T. Nyak Arief sekarang, hanya sa

Sebelum tahun 1930-an, Kutaraja memang dalam keadaan remang remang di malam hari. Peneranganjalan hanya dengan lampu minyak yang dimasukan dalam kotak kaca (lentera) yang dipancangkan di tempat-tempat tertentu. Sementara toko-toko dan rumah-rumah orang kaya dan ambtenaar Belanda memakai lampu Strom King (Petromax) ukuran besar yang semprongnya macam jantung pisang. Jadi lampu yang diisi angin dengan pompa sepeda itu disebut juga lampu jantung.

Ternyata yang disebut Gudang Preman itu karena di salah satu sisi jalan yang sepi ini dulunya ada sebuah bangsal bekas gudang yang lokasinya kira-kira di belakang SD 4-15 sekarang. Tidak ada hubungan Gudang Preman dengan ke angkeran Jln. T. Nyak Arief itu. Preman yang dimaksud jangan disamakan sebagai sebutan untuk preman sekarang, sebagai tukang pukul, perampok maupun pencopet.

Menurut orang-orang lama, yang disebut preman itu dalam ejaan Belanda frijman. Atau dalam ejaan Inggris, freeman, adalah pria- pria yang tidak memiliki lapangan kerja tetap. Tepatnya "pria bebas" bahkan kaum penganggur pun dimasukan dalam jenis preman. Di bekas gudang itulah mereka berkumpul dan tinggal agar mudah ditemukan oleh para pembutuh tenaga kerja musiman. Kebanykan perman-preman itu terdiri dari perantau-perantau luar Aceh, semisal Jawa dan orang-orang Indonesia Bagian Timur. Bahkan pemerintah Belanda memberi mereka sekedar tunjangan.
Pusat perdagangan. Foto: wikimapia.org


Ke Kandang Babi, apa pula itu? Tempo doeloe, kalau mau ke Jalan Teuku Umar arah ke Seutui orang akan mengatakan ke Kandang Babi. Ternyata dulu itu, semenjak Simpang Tiga Mata Ie sampai ke Taman Sari Baru atau Jln. Batee Kureng sekarang, lokasinya terdiri dari hutan pisang dan di dalam kebun pisang tersebut terdapat pemukiman kumuh, perkampungan orang Cina, khusus memelihara babi. Sampai tahun 1980, karena semenjak Simpang Jam sampai lewat Simpang Tiga Mata Ie telah berkembang menjadi kota, sisa-sisa peternak babi tersebut masih ada disekitar itu, agak masuk ke dalam dari Jembatan Goheng (sekarang Gedung SGO). Dan kemudian peternakan babi ini pindah ke Ujong Batee arah Krueng Raya, 15 Km dari kota. Begitu juga di jalan arah ke Seutu ini, ada satu kompleks yang disebut Kampung Keling, yang berseberangan dengan Kampung Blower (Sekarang Sukaramai). Sekarang ini di atas tanah kompleks Kampung Keling tersebut dibangun beberapa bangunan sebagai Taman Budaya Aceh. Yang disebut Kampung Keling itu terdiri dari sebaris kedai kayu berloteng sebanyak 16 pintu yang ditunjuk Belanda untuk hunian orang-orang India yang berprofesi sebagai laundry. Namun lokasi untuk etnis India lainnya berlokasi di Kampung Keudah. Di sini mereka memiliki rumah peribadatan. Tamil Temple untuk India Tamil dan Sikh Temple untuk India Sikh/Banggali.



Tempat hiburan
Beberapa orang lama mengatakan di Kutaraja sebelum Perang Dunia II memiliki 2 gedung kumedi gambar. Maksudnya gedung bioskop, masing-masing Deli Bioscope dan Rex Bioscope. Sebelum masuknya listrik ke Kutaraja, (kira-kira sebelum tahun 1930-an), pijar tembak bayanganfilm ke layar di pergunakan sinar lampu karbid yang sudah tentu hasilbayangannya tidak setajam proyektor listrik. Begitu juga filmnya yang hitam putih masih bisu dan proyektornya memiliki engkol untuk memutar film dengan tangan. Kalau tangan pegal tentu putarannya tidak tepat, lalu ditukar dengan tangan lainnya. Karena filmnya bisu, maka di barisan depan duduk sederetan pemain musik sebagai pengisi kebisuan itu. Baru kemudian Kutaraja kedatangan listrik dan sejalan dengan itu film pun sudah ada suara. Dua gedung bisokop yang dimaksud sekarang ini adalah Bioskop Garuda (Deli Bioscope) dan Rex, hanya tinggal hamparan pertapakan gedungnya yang dimanfaatkan oleh penjaja makanan di malam hari di kawasan depan Hotel Medan sekarang.

Setelah kemerdekaan di samping Bioskop Garuda yang penontonnya tingkat menengah ke atas, maka di Peunayong muncul satu bioskop namanya Tun Fang yang sekarang ini bernama Bisokop Merpati. Rumah-rumah hiburan kebanyakan didatangi oleh para petinggi Belanda yaitu disebut Kamar Bola yang dikemudian hari dikenal dengan BalaiTeuku Umar. Sayang bangunan yang berarsitek tempo doeloe itu yang memiliki ruangan yang luas telah dibongkar dan di sana berdiri seleretan pertokoan antara lain Sinbun Sibreh.

Dan tempat hiburan lainnya yang banyak dikunjungi oleh orang biasa dan anak-anak kapal adalah Taman Sari. Dulu sebagian orang gampong menyebutnya Taman Putroe Bungsu, karena di salah satu sisi taman ada sebuah patung porselen wanita cantik. Sampai sekarang di sana masih ada sebuah bangunan bundar bergaya lama sebagai pentas bermain musik, terutama di malam minggu.

Tempat rekreasi di luar kota ketika itu sangat sedikit, seperti Lhoknga, Mata Ie dan pantai Ulheelheue dimana khusus untuk orang-orang Belanda disediakan tempat mandi laut yang dipagari besi agar jangan diganggu oleh ikan buas berikut kamar mandi dan kamar pakaian. Tempat rekreasi Ulheelheue tersebut porak poranda ketika Kutaraja dilanda gempa besar sekitar tahun 1930-an. (*)

Dikuti dari: http://bioarabasta.blogspot.com/2013/05/banda-aceh-tempo-dulu-pelacur-di.html

Pelukan perdamaian

JARUM jam menunjukkan pukul 10.30 WIB. Suasana ruang Serbaguna Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, Banda Aceh, berbeda dari biasanya. Sejumlah lelaki berpakaian PNS di ruangan itu tampak sibuk. Di antaranya ada yang sedang menunggu tamu. Beberapa lainnya mempersiapkan acara. Sementara di bagian depan ruangan puluhan kursi tertata rapi. Hampir semuanya sudah terisi.

Sebuah baliho besar dipajang menjadi latar tempat acara berlangsung.Assalamualaikum, ucap Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang baru saja turun dari mobil. Zaini disambut beberapa pejabat. Di antaranya Bupati Aceh Selatan, HT Sama Indra SH dan Bupati Aceh Tengah, Drs Nasaruddin dan lainnya. Kehadiran Gubernur Senin (3/6) kemarin di ruang Serbaguna Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, sangat bersahaja. Mantan menteri Luar Negeri GAM ini didaulat menjadi juru damai dalam kasus kerusuhan massa saat berlangsungnya Pekan Olahraga Pelajar (Popda) di Banda Aceh, 27 Juni 2012. Bentrokan ini melibatkan kontingen dua daerah, Aceh Selatan dan Aceh Tengah. Ratusan pelajar dan mahasiswa dari kedua daerah tersebut terlibat aksi saling serang di Taman Ratu Safiatuddin, Lampriek, Rabu (27/6) dini hari. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa tragis itu, namun 48 unit sepeda motor hangus. Peristiwa ini menggemparkan Banda Aceh, Aceh Tengah dan Aceh Selatan.

***

Kini hampir setahun peristiwa itu berlalu. Berbagai cara ditempuh untuk mendamaikan kedua belah pihak. Puncaknya, Senin kemarin. Ruang Serbaguna Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, menjadi saksi bisu atas perdamaian itu. Di antara para undangan tampak Drs Tgk H A Rahman Kaoy. Ia adalah Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA). Rahman Kaoy diundang untuk mempeusijuek (menepungtawari) kedua belah pihak. Peusijuek adalah upaya membuat sesuatu menjadi dingin. Diharapkan peristiwa serupa tak lagi terulang.

Prosesi peusijuek ini dilakukan terhadap Faisal Muthaladi, korban dari Aceh Tengah, dan Rafly selaku tokoh masyarakat yang mewakili Aceh Selatan. Peusijuek diakhiri dengan saling berjabat tangan. Keduanya juga berpelukan. Tak hanya itu. Ada pemandangan istimewa dalam proses perdamaian kemarin. Gubernur Zaini Abdullah secara spontan melakukan hal yang sama. Ia mengajak Sama Indra dan Nasaruddin berjabat tangan. Ini sebagai simbol perdamaian, kata Gubernur. Ia tersenyum sambil memalingkan wajahnya ke arah para undangan.

Saat berbicara di atas podium, ada guratan keprihatinan di raut wajah Zaini. Ia menyesali peristiwa bentrokan itu terjadi. Bukan soal berapa besar materi yang hilang. Tapi ini adalah soal kekompakan. Aceh butuh persatuan untuk menuju ke arah yang lebih baik, ujarnya.

Hal yang lebih menyedihkan, peristiwa itu melibatkan generasi muda, kalangan mahasiswa dan pelajar. Tapi semua kejadian itu sudah berlalu. Jangan terulang kembali, ucapnya.

Pemerintah juga menyediakan Rp 418 juta untuk mengganti 48 sepeda motor yang hangus. Komposisinya: 50% ditanggung Pemerintah Aceh, sedangkan masing-masing 25% ditanggung Pemkab Aceh Selatan dan Aceh Tengah. Kemarin secara simbolis, Gubernur menyerahkan uang tunai itu kepada dua korban.

Suasana perdamaian juga tampak kental dari pidato para pejabat dari dua daerah itu. Misalkan, pidato Bupati Aceh Selatan HT Sama Indra. Ia mengatakan Aceh Selatan terkenal dengan produksi pala. Sedangkan Aceh Tengah terkenal dengan kopi.

Kakanda dari Aceh Tengah kalau berkenan kirimlah kopi untuk kami. Tapi seandainya bupati butuh bibit pala kami akan mengirimnya untuk bupati, kata Sama Indra. Pernyataan itu seolah menyimbolkan ada hubungan yang terekat kembali di antara kedua daerah pascabentrokan terjadi. Lalu Sama Indra melanjutkan, tidak ada yang benar dan tidak ada yang dibenarkan atas apa yang telah terjadi. Juga tidak ada yang salah, dan disalahkan, katanya.

Bupati Aceh Tengah Nasaruddin tak tinggal diam. Saat berpidato ia balas, Jangankan kopi, kampung pun kami bersedia mengirim. Di Aceh Selatan ada kampung Gayo namanya, ungkap Nasaruddin.

Dia berharap pascadamai kemarin hubungan Aceh Selatan dan Aceh Tengah kembali bersemi. Semangat perdamaian yang sudah ada harus terus terpelihara. Jangan ada lagi benih-benih permusuhan di antara kita. Apalagi ke depan juga akan ada Pekan Kebudayaan Aceh. Damai ini harus terus dipelihara, ujarnya.

Semangat para tokoh dari Aceh Selatan dan Aceh Tengah ini mendapat apresiasi semua pihak. Termasuk dua korban, Harjulis (20) dan Aulia Mustafa Kamal. Senang, semuanya sudah selesai. Semoga ada hikmahnya, kata Aulia. Mahasiswa FMIPA Unsyiah semester akhir ini menemukan sepeda motor miliknya hangus pada malam nahas itu.

Namun, semangat damai ini ternyata meninggalkan kegusaran bagi Muhammad Basyir. Ia hanya bisa menerima pasrah semua proses yang berjalan. Kami tidak dilibatkan dalam proses perdamaian ini. Padahal ada banyak kawan kami yang juga luka dan berdarah, katanya.

Jari-jarinya menjepit sebatang rokok. Asap mengepul di raut wajahnya. Muhammad Basyir adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Aceh Selatan (Hamas). Dalam organisasi ini berhimpun pelajar dan mahasiswa. Rata-rata mereka berdomisili di Banda Aceh. Basyir awalnya berpikir akan menjadi salah satu undangan dalam acara itu bersama temannya yang terlibat bentrok dan akan dipeusijuek. Tapi itu tak terjadi.

Saya cuma diberitahu tadi malam (kemarin malam -red). Disuruh datang tiga orang saja, katanya seraya menambahkan, Saya tak bisa masuk kalau teman-teman saya tak diundang. Sementara mereka (pihak Aceh Tengah) banyak yang datang, bandingnya.

Basyir menilai perdamaian yang terjadi kemarin hanya sebatas pedamaian antartokoh masyarakat dan pemerintah kedua daerah itu.

Pemerintah koordinasinya dengan Dispora Aceh Tengah dan Aceh Selatan. Tak ada koordinasi dengan kami. Jadi, saya pikir proses perdamaian ini sebatas antarpemerintah. Bukan antarmahasiswa, ujar Basyir sambil meninggalkan tempat acara. (ansari)


Bersama Ayah Jamal di Pasar Sayur Peunyong
NAMANYA Ayah Jamal (56). Ia adalah pedagang kaki lima di Pasar Sayur Peunayong, Banda Aceh. Ayah Jamal bersama para penjual kecil lainnya, sehari-hari hanya mampu mengahasilkan Rp 50 ribu dari menjual timun, terong, sawi, daun ubi, dan lain-lain di emperan jalan.

Ia berjualan dari pukul 07.00 wib, berangkat naik labi-labi dari sebuah desa di Kuta Baro, Aceh Besar. Sorenya ia kebali ke rumah sekitar pukul 16.00 wib. Nanti malam pemerintah bakal menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ayah Jamal dipastikan ikut merasakan dampak dari kebijakan politis pemerintah itu. Setidaknya bahan kebutuhan pokok bakal ikutan naik juga.

Tentu saja biaya transpor labi-labi yang digunakannya untuk sampai ke pasar juga naik. Sedangkan pendapatan setiap hari Ayah Jamal tetap saja stabil.

“Tapi kalau rezeki itu sama Allah. Kita rakyat kecil. Mau tidak mau juga harus ikut, meski terasa pahit,” ujarnya. (ansari)




PANTAI Pasir Putih di Desa Lhok Mee, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar ternyata tak hanya
Wow, Gurita menghisap dan melilit
menyimpan pesona eksotik akan keindahan pantainya.Namun di balik hamparan pasir laut putih dengan airnya yang jernih menyimpan satu tradisi warga atau nelayan setempat yang amat menarik yakni; memburu gurita!Pemandangan ini setidaknya saya lihat saat berekreasi bersama keluarga ke pantai itu 4 November lalu. Beberapa warga dan nelayan setempat tampak turun ke dasar bibir pantai yang dipenuhi terumbu karang.
Para pemburu

Bila air pasang terumbu karang tempat gurita bersembunyi tidak begitu kelihatan, karena ditutupi air laut berwarna biru. Namun setelah air surut sekitar sore hari, terumbu karang yang sebelumnya hanya kelihatan samar-samar sudah jelas terlihat. Maka perburuan gurita pun dimulai.
Sedang berusaha mengeluarkan
Biasanya gurita yang diburu warga bersembunyi di dasar air di antara terumbu karang. Bagi pemburu yang sudah biasa, akan dengan mudah menemukan lokasi gurita bersembunyi. Setiap nelayan atau pemburu gurita hanya menggunakan satu besi kecil (stik) seukuran jari-jari sepeda motor. Setiap stik berukuran sekitar setengah meter yang ujungnya dibengkokkan. Para pemburu menyisir dimana ada ruang dalam terumbu karang, dengan memasukkan stik ke dalam rongga yang terdapat di antara terumbu karang tersebut.
Baru dikeluarkan dari sarang
Untuk mengetahui gurita ada dalam rongga terumbu karang, Si Pemburu perlu memasukkan stik dan kalau memang gurita bersembunyi di dalamnya, akan terasa kenyal. Nah, di sinilah para pemburu hewan moluska dari kelas Cephalopoda (kaki hewan terletak di kepala) ini berusaha mengeluarkannya dari pesembunyian.

Tanda yang paling umum juga dapat diketahui, saat stik dimasukkan dalam rongga yang terbentuk di antara bongkahan karang, terkadang gurita mengeluarkan jeli (sejenis lendir) berwarna kecokelatan. Sekali seprot, permukaan air berubah jadi cokelat. Tanda ini semakin meyakinkan Si Pemburu memastikan gurita bersembunyi di dalam terumbu karang tersebut. Konon, jeli warna kecokelatan yang disemprotkan gurita adalah cara hewan yang memiliki 8 lengan (bukan tentakel) dengan alat penghisap berupa bulatan-bulatan cekung pada lengan yang digunakan untuk bergerak di dasar laut dan menangkap mangsa--ini untuk menghilangkan jejak dari pemangsa atau musuhnya.
Gurita mengeluarkan jel cokelat
Biasanya para pemburu dapat dengan mudah menangkap gurita setelah diketahui bersembunyi di balik karang. Bagi pemburu yang sudah berpengalaman, hanya butuh waktu yang tidak terlalu lama untuk mengeluarkan gurita dari persembunyiannya. Namun ada pula yang kalah "pintar" gurita lolos dari incaran dan selamat.

Biasanya, setelah berhasil ditangkap, gurita melawan dengan melilitkan lengan dan menghisap kulit tangan Si Pemburu. Namun oleh pemburu perlawanan gurita ini tidak begitu menakutkan dan bahaya. Buktinya setelah gurita berhasil ditangkap, pemburu ternyata punya trik tersendiri untuk melemahkan tenaga gurita yaitu dengan membalikkan kulit kepalanya hingga bagian kepala atas masuk kedalam. Konon, dengan cara ini, gurita tidak dapat melihat dan tenaganya makin melemah.
Hasil tangkapan
Setelah ini dilakukan gurita selanjutnya dimasukkan dalam karung. Para pemburu kemudian kembali menyisir lokasi lainnya dengan cara melihat ke dalam air dengan permukaannya yang transparan. Memang agak miris juga melihat saat pemburu membalikkan kulit kepala Si Gurita, karena tentu dia merasa sangat kesakitan. Tapi hanya dengan cara itu, gurita dapat dilumpuhkan untuk bisa dibawa pulang.

Lokasi tempat gurita bersembunyi dan diburu tidak terlalu jauh dari bibir pantai. Kira-kira sekitar 200 meter dengan kedalaman sekitar setegah meter, atau bahkan bisa lebih rendah lagi. Tradisi memburu gurita ini sudah berlangsung lama dan menjadi salah satu mata pencarian masyarakat Lhok Mee. Sebab, gurita yang mereka tangkap bisa dijual ke pasar atau dibuat asinan. Tentu rasa dagingnya yang kenyal jika dimasak dengan bumbu dapur akan menjadi menu hidangan yang luar biasa sedapnya.
Sedang membeli
Siap dibawa pulang
Terkadang gurita yang baru saja ditangkap juga langsung dibeli oleh pengunjung pantai yang ikut menyaksikan tradisi perburuan ini. Saya sendiri melihat seorang wanita membeli satu gurita yang berhasil ditangkap pemburu seharga Rp 30 ribu.
Harganya memang sangat relatif tergantung dari besarnya. Bagi nelayan setempat memburu gurita menjadi kebiasaan lain di luar menangkap ikan di laut lepas. Tidak hanya itu, tradisi perburuan gurita ini juga menjadi tontonan menarik bagi setiap pengunjung pantai itu di sore hari kala air laut mulai surut.

Bila Anda tertarik mungkin bisa melihatnya langsung lebih dekat. Jangan lupa ajak juga anggota keluarga Anda sambil menikmati panorama alam di sekitar pantai yang menyuguhkan beragan keindahan. Selamat mengunjungi. (ansari hasyim)

Banda Aceh, 5 November 2013




Kami ini orang di pojok beranda besi tua
tak tahu arti mercy, permadani, deretan kursi di gedung mewah tempat kalian menciptakan proyek yang katanya atas nama pembangunan

Angka-angka rupiah melangit hanya kami tahu dari buku keramat yang setiap tahun kalian perdebatkan
atau bahkan mungkin kalian rekayasa atas nama kami, lalu pundi-pundi rupiah mengalir ke kantong kalian, rumah, mobil, kamar tidur sampai ke kolong meja kerja ber-Ac

Kami ini hanya orang di pojok beranda besi tua
hidup dari segenggam peluh bertekuk tubuh di dibakar sengatan matahari
tertatih di antara hiruk pikuk deru mesin penggilas jalananan di tengah kejamnya kehidupan
merintih, meratap, mereka-reka setiap jengkal perut dan harapan tentang apa yang bisa kami dapat esok hari
bilakah kalian mungkin bisa mendengar jerit tangis anak-anak kami di malam sunyi, yang tak dapat tertidur di atas dipan beralaskan kertas koran karena perutnya yang lapar
bilakah kalian bisa melihat asap dapur kami yang hanya terkadang mengepul di kala senja menggelayut
bilakah kalian datang dan merasakan apa yang terhidang di istana kami berlasakan dasar bumi
atau lihatlah di sana ada semangkuk nasi putih beraroma garam laut pemberian tangan-tangan pederma hari ini

Kami ini hanya orang di pojok beranda besi tua
kami tak tahu apa arti dari angka-angka ajaib yang selalu kalian perdebatkan di rumah mewah atas nama kami
kalian sibuk menghitung pundi-pundi untuk diri kalian sendiri
lihatlah...lihatlah...Si Agam yang tak lagi punya jembatan menyeberang saat pergi ke sekolah di kampungnya karena telah dimakan rayap
atau lihatlah Si Dek Nong yang sepatunya sudah bolong tanpa tas jinjing di tangannya karena sawah mereka habis dibabat tikus
hari-hari mereka tapaki dengan mengukur jembatan kehidupan penuh kecemasan

Tapi lihatlah kalian dengan pogahnya setiap akhir pekan menikmati lift menyusuri pusat-pusat belanja mewah berkelas
atau bersama anak istri bercengkrama ria di dalam Chamry yang kalian beli atas nama kami

Kami ini orang di pojok beranda besi tua
hanya butuh matahari


B. Aceh, 10-10-13

 Suara Peluit Isyarat Penemuan Korban

"Priiiittt... Priiiiittt... Priiiitt...," bunyi peluit dari dasar kawah. Agolo, Safety Officer Badan SAR Nasional (Basarnas) kaget dan bangun dari tempat duduknya. "Siapa itu, siapa yang tiup peluit?

Coba cari tahu, dan pastikan di mana posisi itu," katanya lewat Radio HT (handy talky) orange, warna khas Basarnas. Agolo tampak berdiri dengan posisi siaga. Matanya awas memandang ke dasar 'kawah jadian' dari atas ketinggian 100 meter. Selang beberapa detik kemudian bunyi peluit yang sama kembali terdengar dari arah longsoran

Desa Serempah, yang ambalas ke dasar bukit hingga membentuk kawah raksasa pasca gempa bumi 6,2 SR pada Selasa (2/7) pekan lalu. Bunyi itu terpancarkan dari reciver HT yang dipakai Tim Basarnas yang tengah mencari tujuh korban tertimbun runtuhan tanah Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.

"Ada bau mayat, ada belatung," suara dari dasar kawah yang jelas terdengar dari Radio HT beberapa petugas Basarnas yang berkumpul di pos pemantauan. Di pos ini, Agolo bersama beberapa relawan Basarnas lainnya mengendalikan dan memonitor pergerakan Tim SAR yang menyebar ke beberapa titik lokasi.

Tugas mereka adalah mencari tujuh korban yang masih tertimbun di dasar kawah berdiameter sekitar 500 meter persegi di kedalaman 100 meter. Bunyi peluit dalam operasi Tim SAR mencari korban adalah tanda emergensi dan harus segera direspons. Biasanya, tanda peluit itu menunjukkan adanya korban yang ditemukan, atau menjadi petunjuk kuat di mana korban tertimbun terlihat ke permukaan.

"Tolong hentikan, jangan bunyikan peluitnya, bisa confuse (bingung) nanti," kata Agolo memberi petunjuk begitu dilaporkan bahwa tidak ada korban yang ditemukan. Safety Officer Basarnas berbadan tegap itu juga mewanti-wanti kepada tim agar berhati-hati.

Operasi pencarian tujuh korban di kawah bekas runtuhnya Desa Serempah masih rawan. Beberapa kali terdengan call sign in (panggilan) kepada petugas penyelamat yang berada di dasar kawah agar berhati-hati terhadap pergerakan dinding kawah yang rawan longsor. Sementara itu, di dasar kawah juga tampak dua alat berat beko mengeruk timbunan tanah di pinggiran sungai untuk mencari korban. Juga tampak dari radius satu kilometer, sebuah pos monyet berbendera Merah Putih berada di dasar kawah.

Operasi pencarian korban melibatkan tim terpadu. Selain Basarnas pencarian korban juga dibantu aparat TNI/Polri. Satu unit amabulans juga stand by di lokasi. Hingga Senin (8/7) kemarin, upaya pencarian korban hilang terus dilakukan tim SAR di Dese Serempah yang ambruk ke dasar bukit. Menurut warga terdapat 11 korban tertimbun runtuhan tanah saat Serempah amblas ke dasar bukit. Lima di antaranya ditemukan tewas terdiri atas seorang lelaki dewasa, seorang wanita dan tiga anak. Korban terakhir seorang anak ditemukan tim Basarnas Minggu (7/3) siang kemarin. Sementara 7 lainnya diperkirakan masih terkubur di bawah timbunan longsor di lokasi kawah itu.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Minggu (7/3) merilis sebanyak 31 orang meninggal di kawasan Aceh Tengah, sementara 9 orang tewas di Kabupaten Bener Meriah. Sebanyak 63 orang luka berat masih dirawat di rumah sakit dan 2.362 orang menjalani rawat jalan. Sementara jumlah pengungsi mencapai 22.125 orang, dan sebanyak 15.919 rumah rusak. Tim Badan SAR Nasional masih terus menyisir lokasi untuk mencari enam korban lain yang tertimbun.

Upaya pencarian korban juga melibatkan squad pasukan khusus Basarnas Special Group (BSG) dari Jakarta, yang memiliki kemampuan dua kali lipat dibandingkan tim biasa.
"Upaya pencarian korban akan terus kita lakukan," kata Agolo yang dihubungi Serambi, tadi malam.
Para keluarga korban di Desa Serempah, kini hanya menunggu sebuah keajaiban dari peristiwa yang memilukan itu. "Saya tetap menunggu. Semoga kami bisa bertemu lagi, walau itu hanya sebatas jasadnya," kata Marzuki (35), yang kehilangan adiknya, Nekmat (30). Seiring Nekmat dan 10 korban lainya tertimbun dan perkirakan tewas, Serempah kini juga ikut berduka. Gempa 6,2 SR yang mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, Selasa (2/7) lalu telah melenyapkannya dari peta bumi. (ansari hasyim)


 

Ibu dan Anak Terkubur Longsoran

MUKMIN kelihatan lelah di bawah sengatan matahari. Di wajahnya menempel butiran debu dengan kulit tampak lebam. Siang itu ia hanya bisa duduk diam, menatap kawah raksasa di depannya yang terbentuk setelah Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah ambruk ke dasar bukit pascagempa 6,2 SR mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, Selasa (2/7) lalu.

Bagi Mukmin kawah raksasa berdiameter 500 meter persegi dengan kedalaman sekitar 100 meter itu menyimpan cerita yang tak bisa dilupakan. Di dasar kawah itulah, ia menemukan ibunya, Nawani (35) bersama adiknya, Rahdiko (1) tertimbun runtuhan tanah Desa Serempah. “Waktu ditemukan ibu lagi menggendong adik,” kata mahasiswa Universitas Gajah Putih, Takengon itu.

Mukmin seolah masih tak percaya tragedi runtuhnya Desa Serampah telah merenggut kedua orang terdekat dalam hidupnya. Saat ditemui Serambi, Sabtu (6/7) lalu, ia baru saja mengangkut barang-barang yang tersisa di bekas rumahnya di desa berpenduduk 74 KK itu. “Bangunan depan rumah runtuh ke bawah. Bagian dapur saja yang tersisa. Sekarang tidak bisa ditempati lagi,” ujarnya.

Saat gempa menguncang Mukmin sedang memperbaiki sepeda motor di Blang Mancung, Kecamatan Ketol. Setelah gempa berhenti ia pulang ke desa. Namun ia menemukan pemandangan mengerikan. Desa itu telah berubah menjadi kawah raksasa, belasan rumah warga termasuk rumahnya telah amblas. Harapan bisa bertemu ibu dan adik-adiknya sirna. “Hari itu juga saya turun ke bawah, dan menemukan ibu dan adik sudah tertimbun,” katanya.

Menurut kesaksian warga runtuhnya Desa Serempah ke dasar bukit berlangsung dramatis. Sebagian besar penduduk saat itu tengah beraktivitas di sawah, kebun dan ladang. Tiba-tiba tanah Desa Serempah bergoncang hebat. Suara gemuruh dari perut bumi terdengar jelas oleh warga. Pohon-pohon di atas perbukitan seperti ‘menari-nari’, disertai bunyi dentuman tanah amblas dan bangunan ambruk.

Sementara itu, pukul 14.37 WIB saat gempa terjadi, Marzuki (35), seorang warga setempat lainnya, yang berada tak jauh dari lokasi runtuhnya tanah Desa Serempah, hanya bisa tercengang melihat detik-detik detik-detik desai lenyap dari peta bumi. “Waktu mau runtuh terdengar suara gemuruh dan getaran hebat dari dalam tanah. Cuma dua menit berselang, semuanya sudah hancur lebur jatuh ke bawah,” ujarnya.

Menyaksikan pemandangan itu, Marzuki lari menyelamatkan diri ke sawah bersama istrinya Sufiati (25) dan seorang anaknya Misnawati (4). Meski selamat dari musibah itu, namun Marzuki turut merasakan duka mendalam. Ia kehilangan adik kandungnya, Nekmat (30). Lelaki ini diduga masih tertimbun dalam tanah. Nekmat waktu itu terlihat tengah memancing di sungai dekat tebing yang longsor. “Sampai sekarang dia tidak pulang lagi,” katanya.

Korban meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Marzuki masih berharap dapat menemukan jasad adiknya itu. “Saya selalu menunggu di sini berharap dia bisa ditemukan,” kata Marzuki yang terus mengikuti perkembangan tim Basarnas menyisir lokasi.

Hebatnya guncangan gempa disertai longsornya bukit di Serempah juga dirasakan Sanen (50). Saat gempa terjadi ia berada di kebun. Namun tiba-tiba tanah dari atas bukti runtuh dan menimbun setengah badannya. Makin lama tanah bercampur lumpur itu makin tinggi hingga mencapai mulutnya. Saat itu tanah terus berguguran dari dinding bukit akibat getaran gempa.

Senen yang sudah ringkih berjuang sekuat tenaga membebaskan diri dari tanah yang menghimpit tubuhnya. Beruntung, akhirnya ia bisa keluar dan lepas dari maut. “Saya sudah tak ingat apa-apa lagi waktu itu. Yang terpikir saya ingin pulang melihat anak saya,” ujarnya saat ditemui di Posko Pengungsian Kutagelime, Kecamatan Ketol, bersama 17 KK penduduk Desa Serempah lainnya, Minggu (7/7).


Tapi lelaki itu kini masih terus dirundung kesedihan. Anaknya, Sabri (23) sampai saat ini belum ditemukan. Istri korban, Dewi Mariani (20) bersama anak semata wayang mereka, Sri Murni (1,7) ikut mengungsi ke posko. Padahal, pasangan ini baru lima hari merasakan tinggal di rumah sendiri di Desa Serempah. Namun kini, semuanya hanya tinggal mimpi.

Selain kehilangan harta, tulang punggung keluarga kecil itu juga telah pergi untuk selamanya bersama tragedi runtuhnya Serempah di dasar bumi. “Saya berdoa dia bisa segera ditemukan,” kata Dewi lirih sambil mengendong anaknya. (bersambung)



Membentuk Kawah Raksasa, Menimbun 11 Warga

PENGANTAR REDAKSI: Gempa bumi yang melanda wilayah dataran tinggi Gaya, Selasa (2/7) lalu, banyak menyisakan cerita duka. Wartawan Serambi, Ansari Hasyim, coba mengungkap berbagai cerita duka tersebut langsung dari lokasi bencana, di Aceh Tengah dan Bener Meriah, dalam tiga laporannya yang mulai kami turunkan edisi ini.

                                                        *    *    *

SEREMPAH, desa di kaki bukit itu kini hanya tinggal kenangan. Gempa berkekuatan 6,2 skala richter yang menguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah Selasa (2/7) lalu telah melenyapkannya dari peta bumi. Tragedi kemanusiaan di Serempah menyisakan duka mendalam bagi penduduk setempat. Belasan rumah, harta benda, dan fasilitas publik hilang tak berjejak tertimbun longsoran tanah.

Longsoran itu membentuk kawah raksasa berdiameter sekitar 500 meter persegi dengan kedalaman sekitar 100 meter. Bila dilihat dari atas bukit, persis menyerupai lokasi meteor jatuh dari langit. Tidak hanya rumah, di dasar tanah bekas runtuhnya Serempah terdapat 11 warga tertimbun. “Baru empat orang yang sudah ditemukan. Tujuh lainnya masih dalam pencarian,” kata Marzuki (35), seorang warga yang ditemui Serambi di lokasi, Sabtu (6/7).

Desa Serempah terletak di Kecamatan Ketol, Aceh Tengah. Di sini kanan dan kiri diapit tebing dan bebukitan terjal. Di bawahnya mengalir sebuah sungai dengan air yang jernih sebagai sumber kehidupan warga. Pascagempa, sungai itu kini telah menguning karena tertimbun tanah yang runtuh dari tebing. Tanah pebukitan tersebut begitu mudah runtuh bila ada getaran gempa, karena konturnya yang labil, gembur, dan nyaris tak mengandung bebatuan.

Serambi yang memasuki Desa Serempah, Sabtu (6/7) siang, juga menyaksikan sepanjangan jalan sebelah kanan dengan radius sekitar 500 meter masih terlihat abu berterbangan dari dinding tebing dan bukit. Ini menandakan, tebing dengan kontur tanah yang labil itu diperkirakan kembali runtuh bila gempa susulan terjadi. Tampak juga pohon-pohon berukuran besar dan tinggi tumbang dan miring karena dihantam tanah yang longsor dari tebing saat gempa terjadi.





Pemandangan lebih miris, warga Serempah kini telah menjauh dari desa kelahirannya. Nyaris tidak ada warga yang berani tinggal lagi di tanah yang tersisa dalam desa itu. Selain kondisinya sudah rusak, wilayah di atas pebukitan mulai retak dan sesekali dapat mengancam jiwa warga. “Warga sudah tak berani lagi tinggal di sini. Sebab, tanah di kawasan ini sepertinya sudah tidak kuat lagi menahan goncangan. Sekarang kami mengungsi di Kutagelime,” kata Marzuki.

Desa Serempah kini hanya bisa dilewati oleh kalangan tertentu saja. Upaya ini dilakukan demi keamanan, karena lokasi Serempah sudah tidak stabil lagi dan sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa. Akses menuju Serempah hanya diperbolehkan untuk wartawan, tim relawan, aparat keamanan yang hingga kemarin masih melakukan proses pencarian tujuh warga yang masih tertimbun di dasar longsoran.


Selain itu, akses masuk ke Serempah, tepatnya di perbatasan Desa Bah, Kecamatan Ketol, hanya diberikan kepada warga dan saudara keluarga korban yang ingin melihat kondisi rumah. Tragedi di Serempah ini juga banyak menyedot perhatian warga yang hanya sekadar datang untuk melihat dan memastikan, apakah ada kerabat atau sanak keluarganya yang jadi korban.

Peristiwa runtuhnya Desa Serempah ke dasar bukit juga menutup akses menuju beberapa desa lainnya, yaitu Kukuyang, Bugara, Simpang Tiga dan Berawang Gajah. Serempah dihuni sekitar 74 kepala keluarga. Mayoritas penduduk setempat adalah petani dan peladang. Bagian tanah yang amblas ke dasar bukit terdapat fasilitas publik seperti Polindes dan belasan rumah.

Menurut keterangan warga setempat, rumah-rumah yang amblas tersebut milik Syamsudin, Arman (kepala desa), Selamat (sekeretaris desa), Dahlan, Mukmin, Aman Lida, Aman Kurnia, Daud Bereh, Abdul Wahab, Aman Pardi, Karya dan Rubiah. Untuk mencapai Serempah dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari Takengon. Namun jalan menuju ke sana tidak dapat diakses karena masih ditutupi longsoran.


Warga yang hendak ke Serempah harus melalui jalan ke mengitari Bukit Sama (Jalan Bireuen-Tekengon) di Kabupaten Bener Meriah dengan waktu tempuh sekitar dua 2,5 jam perjalanan. Kini, jika kita melewati lintasan ini, tampak sejumlah warga termasuk anak-anak mengulurkan kotak sumbangan kepada pengguna jalan. Bekas longsoran bukit dan jalanan yang retak dapat dengan mudah ditemui. Medan semakin berat terasa saat memasuki perbatasan Aceh Tengah-Bener Meriah.

Kondisi jalan tersebut banyak yang rusak, menanjak dan berdebu. Tak jauh setelah memasuki wilayah perbatasan kondisi kerusakan parah mulai terlihat. Rumah-rumah banyak rubuh, retak dan beberapa di antara pemilik mendirikan tenda. Serambi berhasil masuk ke Serempah sekitar pukul 13.30 wib. Truk tentara mulai terlihat hilir mudik keluar masuk Serempah, termasuk para relawan, dan ambulans terparkir siaga. Tepat di lokasi amburuknya Desa Serempah ke dasar bukit masih terus menjadi fokus relawan Basarnas mencari tujuh korban yang masih hilang tertimbun longsor. (bersambung)






Diterbitkan Harian Serambi Indonesia Minggu, 7 Juli 2013

7 November 2013

Peunayong Tempoe Doloe


Krueng Aceh di Peunayong malam hari. Foto aidiaphotography.blogspot.com
KITA tidak tahu apakah ketika tahun 1205 M sebagai awal ditetapkan lahirnya kota Banda Aceh, apakah nama tersebut memang Banda Aceh (Bandar Aceh) atau ada yang lain. Kalau direnung-renungkan, kiranya jauh lebih tua Banda Aceh dengan Malaka, atawa pusat kerajaan Islam Moghul di Delhi India maupun beberapa kesultanan di Indonesia Bagian Timur. Tapi mana sisa-sisa sebuah kota yang berpredikat bandar itu?

Tanpa mengecilkan arti benar tidaknya ada sebuah bandar hebat ketika itu, siapapun mengakui yang tahun 1205 M itu adalah munculnya kerajaan Aceh Darussalam dengan Sultan pertamanya Alaidin Johan Syah. Mungkin saja ibu kota kerajaan itu memang di Banda Aceh sekarang yang jaraknya 5 KM dari lalulintas samudera ketimbang sebuah kota sebagai bandar pelabuhan seperti Malaka, Makassar dll, yang juga muncul di abad-abad lampau.

Sebagian kita barangkali telah terbawa arus berimajinasi dari orang-orang tertentu zaman kini tentang adanya sebuah kota berstatus bandar pelabuhan yang sibuk. Imajinasi-imajinasi demikian membuat kita menerima saja akan sesuatu, sebagai meyakinkan bahwa kita juga memiliki sebuah kota macam Malaka, Palembang, Bengkulu dll lagi. Sekali lagi tanpa mengecilkan arti keberadaan sejarah yang pernah melintas di negeri ini, kita cukup bangga dengan runutan para Sultan dan Sultanah yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam yang memang jelas ada dan bahkan telah berpengaruh sampai ke tingkat internasional pada abad-abad lalu tersebut.
Salah satu sudut Peunayong. Foto: www.tribunnews.com
Rex, Pusat Jajanan Malam. Foto: inbandaaceh.com

Dari berbagai catatan, diperoleh data tanpa mengecilkan arti Banda Aceh yang telah berusia lebih 7 abad ini, tentang lebih mencuatnya beberapa pelabuhan di Pantai Barat yang berhadapan dengan Samudera Hindia, tanpa predikat bandar, semenjak dari Negeri Barus sampai ke kawasan Aceh Besar. Dalam peta-peta kuno jalur pelayaran para nakoda asing, tercantum nama-nama pelabuhan yang pada jadwal-jadwal tertentu mereka wajib singgah untuk membeli ataupun membarter berbagai jenis rempah-rempah. Baiklah kita telusuri peta kuno para pelaut asing tersebut seperti yang diungkapkan dalam buku Aceh Sepanjang Abad oleh Mohd.Said. Adalah pelabuhan-pelabuhan tersebut berikut ini dalam ejaan lidah pelaut asing, yakni: Barus, Tepus, Singkli (Singkil), Trumon, Mukki (Meukek), Labonarge (Labuhanhaji), Talafao (Lhokpaoh), Susu/Pulo Kiyu (Susoh/Pulau Kayu), Qualah Batto (Kuala Batee), Rigas (Rigah), Kluwang (Keuluang) dan Anambelu (diperkirakan pelabuhan Inong Balee-Pen).

Mereka, pelaut-pelaut asing itu tidak mencantumkan adanya Sibolga, Tapaktuan, Meulaboh, Calang, maupun Banda (Bandar) Aceh. Lagi-lagi tanpa mengecilkan arti sebuah nama, semua orang mengakui bahwa keberadaan Kerajaan Aceh Darussalam dengan petinggi pertamanya Sultan Alaidin Johan Syah memang telah ada semenjak 795 tahun lalu. Dengan Perda Aceh No. 5/1988, ditetapkanlah tanggal keberadaan Banda Aceh bertepatan dengan hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H, atau 22 April 1205 M. Namun apakah ada tidaknya sebuah bandar (kota pelabuhan) ketimbang ibu kota sebuah kerajaan yang berwibawa, para peneliti sejarah jugalah yang mampu mengungkapkannya. Wallahualam bissawab.


Cuma 6 Sekolah Dasar
Setelah penyerahan kedaulatan 1949, Banda Aceh yang disebut sebagai Kutaraja hanya memiliki 5 Sekolah Dasar (SD) yang ketika itu disebut Sekolah Rakyat (SR). Menurut salah seorang murid dari salah satu SD tersebut, Din Pawang Leman (68) seorang tokoh masyarakat dari Leupeung, lokasi SR tersebut masing-masing: SR seleretan SMU 1, sekarang SD 7 dan 9. SR di Jln Mohd Jam, sekarang pertokoan antara lain Supermarket Yusri.SR di Lampoh Jok Peuniti, sekarang SD 3 dan 42. SR di dekat Gudang Preman (Jln. T. Nyak Arief) depan Kantor DOLOG, sekarang SD 4 dan 15. SR di Kampung Jawa, sekarang sudah dibongkar. SR Neusuh, sekarang bangunan baru sebagai SD 32.

Tahun 1950 muncul satu-satunya Sekolah Rendah Islam (SRI) Al Qariah berlokasi di belakang Masjid Raya Baiturrahman. Tahun-tahun berikutnya muncul satu-satunya di Aceh yaitu SMA Negeri (SMU 1 sekarang). Dan Sekolah Guru Bantu (SGB) dan Sekolah Gura Atas (SGA) menumpang pada ruang belakang Gereja Pante Pirak. Menjelang tahun 1956 muncul gedung baru untuk SGA berlantai 2 sederetan Kolam Renang Pante Pirak sekarang.

Peunayong dan Gudang Pereman
Sebelum Perang Dunia II, kalau anda keluar melancong sore dan pulang malam, ternyata ketahuan dari kawasan Peunayong di seberang Kali Aceh, jelas anda dicurigai sebagai baru pulang plesir dengan pelacur. Ternyata sarang si Kupu-Kupu Malam ini memang terkenal di kawasan Peunayong ketika itu. Beberapa pengakuan orang-orang lama, ketika itu obat penyakit perempuan (maksudnya Sipilis/ Raja singa- Pen) belum ada. Pasien-pasien yang diterima di Rumah Sakit Kuta Alam (sekarang Rumah Sakit Tentara) adalah si Hidung Belang yang terkena sipilis. Satu-satunya pertolongan yang mampu diusahakan dokter adalah memasukan slang karet ke lobang batang alat kelamin lalu menyemprotkan sejenis cairan. Dan si sakit sudah tentu berteriak-teriak kesakitan. Dengan pengobatan demikian ada yang sembuh namun tidak jarang yang tak mempan meninggal digerogoti penyakit perempuan tersebut.
Lomba perahu di Peunayong. Foto: www.antaranews.com

Dan apa pula yang disebut "Gudang Preman" itu?
Maksudnya kalau ke jurusan Jln. T. Nyak Arief sekarang ini, dulu disebut Jln Krueng Raya atau Jln Gudang Preman. Jalan itu tidak sepanjang Jln. T. Nyak Arief sekarang, hanya sa

Sebelum tahun 1930-an, Kutaraja memang dalam keadaan remang remang di malam hari. Peneranganjalan hanya dengan lampu minyak yang dimasukan dalam kotak kaca (lentera) yang dipancangkan di tempat-tempat tertentu. Sementara toko-toko dan rumah-rumah orang kaya dan ambtenaar Belanda memakai lampu Strom King (Petromax) ukuran besar yang semprongnya macam jantung pisang. Jadi lampu yang diisi angin dengan pompa sepeda itu disebut juga lampu jantung.

Ternyata yang disebut Gudang Preman itu karena di salah satu sisi jalan yang sepi ini dulunya ada sebuah bangsal bekas gudang yang lokasinya kira-kira di belakang SD 4-15 sekarang. Tidak ada hubungan Gudang Preman dengan ke angkeran Jln. T. Nyak Arief itu. Preman yang dimaksud jangan disamakan sebagai sebutan untuk preman sekarang, sebagai tukang pukul, perampok maupun pencopet.

Menurut orang-orang lama, yang disebut preman itu dalam ejaan Belanda frijman. Atau dalam ejaan Inggris, freeman, adalah pria- pria yang tidak memiliki lapangan kerja tetap. Tepatnya "pria bebas" bahkan kaum penganggur pun dimasukan dalam jenis preman. Di bekas gudang itulah mereka berkumpul dan tinggal agar mudah ditemukan oleh para pembutuh tenaga kerja musiman. Kebanykan perman-preman itu terdiri dari perantau-perantau luar Aceh, semisal Jawa dan orang-orang Indonesia Bagian Timur. Bahkan pemerintah Belanda memberi mereka sekedar tunjangan.
Pusat perdagangan. Foto: wikimapia.org


Ke Kandang Babi, apa pula itu? Tempo doeloe, kalau mau ke Jalan Teuku Umar arah ke Seutui orang akan mengatakan ke Kandang Babi. Ternyata dulu itu, semenjak Simpang Tiga Mata Ie sampai ke Taman Sari Baru atau Jln. Batee Kureng sekarang, lokasinya terdiri dari hutan pisang dan di dalam kebun pisang tersebut terdapat pemukiman kumuh, perkampungan orang Cina, khusus memelihara babi. Sampai tahun 1980, karena semenjak Simpang Jam sampai lewat Simpang Tiga Mata Ie telah berkembang menjadi kota, sisa-sisa peternak babi tersebut masih ada disekitar itu, agak masuk ke dalam dari Jembatan Goheng (sekarang Gedung SGO). Dan kemudian peternakan babi ini pindah ke Ujong Batee arah Krueng Raya, 15 Km dari kota. Begitu juga di jalan arah ke Seutu ini, ada satu kompleks yang disebut Kampung Keling, yang berseberangan dengan Kampung Blower (Sekarang Sukaramai). Sekarang ini di atas tanah kompleks Kampung Keling tersebut dibangun beberapa bangunan sebagai Taman Budaya Aceh. Yang disebut Kampung Keling itu terdiri dari sebaris kedai kayu berloteng sebanyak 16 pintu yang ditunjuk Belanda untuk hunian orang-orang India yang berprofesi sebagai laundry. Namun lokasi untuk etnis India lainnya berlokasi di Kampung Keudah. Di sini mereka memiliki rumah peribadatan. Tamil Temple untuk India Tamil dan Sikh Temple untuk India Sikh/Banggali.



Tempat hiburan
Beberapa orang lama mengatakan di Kutaraja sebelum Perang Dunia II memiliki 2 gedung kumedi gambar. Maksudnya gedung bioskop, masing-masing Deli Bioscope dan Rex Bioscope. Sebelum masuknya listrik ke Kutaraja, (kira-kira sebelum tahun 1930-an), pijar tembak bayanganfilm ke layar di pergunakan sinar lampu karbid yang sudah tentu hasilbayangannya tidak setajam proyektor listrik. Begitu juga filmnya yang hitam putih masih bisu dan proyektornya memiliki engkol untuk memutar film dengan tangan. Kalau tangan pegal tentu putarannya tidak tepat, lalu ditukar dengan tangan lainnya. Karena filmnya bisu, maka di barisan depan duduk sederetan pemain musik sebagai pengisi kebisuan itu. Baru kemudian Kutaraja kedatangan listrik dan sejalan dengan itu film pun sudah ada suara. Dua gedung bisokop yang dimaksud sekarang ini adalah Bioskop Garuda (Deli Bioscope) dan Rex, hanya tinggal hamparan pertapakan gedungnya yang dimanfaatkan oleh penjaja makanan di malam hari di kawasan depan Hotel Medan sekarang.

Setelah kemerdekaan di samping Bioskop Garuda yang penontonnya tingkat menengah ke atas, maka di Peunayong muncul satu bioskop namanya Tun Fang yang sekarang ini bernama Bisokop Merpati. Rumah-rumah hiburan kebanyakan didatangi oleh para petinggi Belanda yaitu disebut Kamar Bola yang dikemudian hari dikenal dengan BalaiTeuku Umar. Sayang bangunan yang berarsitek tempo doeloe itu yang memiliki ruangan yang luas telah dibongkar dan di sana berdiri seleretan pertokoan antara lain Sinbun Sibreh.

Dan tempat hiburan lainnya yang banyak dikunjungi oleh orang biasa dan anak-anak kapal adalah Taman Sari. Dulu sebagian orang gampong menyebutnya Taman Putroe Bungsu, karena di salah satu sisi taman ada sebuah patung porselen wanita cantik. Sampai sekarang di sana masih ada sebuah bangunan bundar bergaya lama sebagai pentas bermain musik, terutama di malam minggu.

Tempat rekreasi di luar kota ketika itu sangat sedikit, seperti Lhoknga, Mata Ie dan pantai Ulheelheue dimana khusus untuk orang-orang Belanda disediakan tempat mandi laut yang dipagari besi agar jangan diganggu oleh ikan buas berikut kamar mandi dan kamar pakaian. Tempat rekreasi Ulheelheue tersebut porak poranda ketika Kutaraja dilanda gempa besar sekitar tahun 1930-an. (*)

Dikuti dari: http://bioarabasta.blogspot.com/2013/05/banda-aceh-tempo-dulu-pelacur-di.html

Ketika Kopi dan Pala Bersanding

Pelukan perdamaian

JARUM jam menunjukkan pukul 10.30 WIB. Suasana ruang Serbaguna Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, Banda Aceh, berbeda dari biasanya. Sejumlah lelaki berpakaian PNS di ruangan itu tampak sibuk. Di antaranya ada yang sedang menunggu tamu. Beberapa lainnya mempersiapkan acara. Sementara di bagian depan ruangan puluhan kursi tertata rapi. Hampir semuanya sudah terisi.

Sebuah baliho besar dipajang menjadi latar tempat acara berlangsung.Assalamualaikum, ucap Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang baru saja turun dari mobil. Zaini disambut beberapa pejabat. Di antaranya Bupati Aceh Selatan, HT Sama Indra SH dan Bupati Aceh Tengah, Drs Nasaruddin dan lainnya. Kehadiran Gubernur Senin (3/6) kemarin di ruang Serbaguna Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, sangat bersahaja. Mantan menteri Luar Negeri GAM ini didaulat menjadi juru damai dalam kasus kerusuhan massa saat berlangsungnya Pekan Olahraga Pelajar (Popda) di Banda Aceh, 27 Juni 2012. Bentrokan ini melibatkan kontingen dua daerah, Aceh Selatan dan Aceh Tengah. Ratusan pelajar dan mahasiswa dari kedua daerah tersebut terlibat aksi saling serang di Taman Ratu Safiatuddin, Lampriek, Rabu (27/6) dini hari. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa tragis itu, namun 48 unit sepeda motor hangus. Peristiwa ini menggemparkan Banda Aceh, Aceh Tengah dan Aceh Selatan.

***

Kini hampir setahun peristiwa itu berlalu. Berbagai cara ditempuh untuk mendamaikan kedua belah pihak. Puncaknya, Senin kemarin. Ruang Serbaguna Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, menjadi saksi bisu atas perdamaian itu. Di antara para undangan tampak Drs Tgk H A Rahman Kaoy. Ia adalah Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA). Rahman Kaoy diundang untuk mempeusijuek (menepungtawari) kedua belah pihak. Peusijuek adalah upaya membuat sesuatu menjadi dingin. Diharapkan peristiwa serupa tak lagi terulang.

Prosesi peusijuek ini dilakukan terhadap Faisal Muthaladi, korban dari Aceh Tengah, dan Rafly selaku tokoh masyarakat yang mewakili Aceh Selatan. Peusijuek diakhiri dengan saling berjabat tangan. Keduanya juga berpelukan. Tak hanya itu. Ada pemandangan istimewa dalam proses perdamaian kemarin. Gubernur Zaini Abdullah secara spontan melakukan hal yang sama. Ia mengajak Sama Indra dan Nasaruddin berjabat tangan. Ini sebagai simbol perdamaian, kata Gubernur. Ia tersenyum sambil memalingkan wajahnya ke arah para undangan.

Saat berbicara di atas podium, ada guratan keprihatinan di raut wajah Zaini. Ia menyesali peristiwa bentrokan itu terjadi. Bukan soal berapa besar materi yang hilang. Tapi ini adalah soal kekompakan. Aceh butuh persatuan untuk menuju ke arah yang lebih baik, ujarnya.

Hal yang lebih menyedihkan, peristiwa itu melibatkan generasi muda, kalangan mahasiswa dan pelajar. Tapi semua kejadian itu sudah berlalu. Jangan terulang kembali, ucapnya.

Pemerintah juga menyediakan Rp 418 juta untuk mengganti 48 sepeda motor yang hangus. Komposisinya: 50% ditanggung Pemerintah Aceh, sedangkan masing-masing 25% ditanggung Pemkab Aceh Selatan dan Aceh Tengah. Kemarin secara simbolis, Gubernur menyerahkan uang tunai itu kepada dua korban.

Suasana perdamaian juga tampak kental dari pidato para pejabat dari dua daerah itu. Misalkan, pidato Bupati Aceh Selatan HT Sama Indra. Ia mengatakan Aceh Selatan terkenal dengan produksi pala. Sedangkan Aceh Tengah terkenal dengan kopi.

Kakanda dari Aceh Tengah kalau berkenan kirimlah kopi untuk kami. Tapi seandainya bupati butuh bibit pala kami akan mengirimnya untuk bupati, kata Sama Indra. Pernyataan itu seolah menyimbolkan ada hubungan yang terekat kembali di antara kedua daerah pascabentrokan terjadi. Lalu Sama Indra melanjutkan, tidak ada yang benar dan tidak ada yang dibenarkan atas apa yang telah terjadi. Juga tidak ada yang salah, dan disalahkan, katanya.

Bupati Aceh Tengah Nasaruddin tak tinggal diam. Saat berpidato ia balas, Jangankan kopi, kampung pun kami bersedia mengirim. Di Aceh Selatan ada kampung Gayo namanya, ungkap Nasaruddin.

Dia berharap pascadamai kemarin hubungan Aceh Selatan dan Aceh Tengah kembali bersemi. Semangat perdamaian yang sudah ada harus terus terpelihara. Jangan ada lagi benih-benih permusuhan di antara kita. Apalagi ke depan juga akan ada Pekan Kebudayaan Aceh. Damai ini harus terus dipelihara, ujarnya.

Semangat para tokoh dari Aceh Selatan dan Aceh Tengah ini mendapat apresiasi semua pihak. Termasuk dua korban, Harjulis (20) dan Aulia Mustafa Kamal. Senang, semuanya sudah selesai. Semoga ada hikmahnya, kata Aulia. Mahasiswa FMIPA Unsyiah semester akhir ini menemukan sepeda motor miliknya hangus pada malam nahas itu.

Namun, semangat damai ini ternyata meninggalkan kegusaran bagi Muhammad Basyir. Ia hanya bisa menerima pasrah semua proses yang berjalan. Kami tidak dilibatkan dalam proses perdamaian ini. Padahal ada banyak kawan kami yang juga luka dan berdarah, katanya.

Jari-jarinya menjepit sebatang rokok. Asap mengepul di raut wajahnya. Muhammad Basyir adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Aceh Selatan (Hamas). Dalam organisasi ini berhimpun pelajar dan mahasiswa. Rata-rata mereka berdomisili di Banda Aceh. Basyir awalnya berpikir akan menjadi salah satu undangan dalam acara itu bersama temannya yang terlibat bentrok dan akan dipeusijuek. Tapi itu tak terjadi.

Saya cuma diberitahu tadi malam (kemarin malam -red). Disuruh datang tiga orang saja, katanya seraya menambahkan, Saya tak bisa masuk kalau teman-teman saya tak diundang. Sementara mereka (pihak Aceh Tengah) banyak yang datang, bandingnya.

Basyir menilai perdamaian yang terjadi kemarin hanya sebatas pedamaian antartokoh masyarakat dan pemerintah kedua daerah itu.

Pemerintah koordinasinya dengan Dispora Aceh Tengah dan Aceh Selatan. Tak ada koordinasi dengan kami. Jadi, saya pikir proses perdamaian ini sebatas antarpemerintah. Bukan antarmahasiswa, ujar Basyir sambil meninggalkan tempat acara. (ansari)

Suara Mereka Jelang BBM Naik


Bersama Ayah Jamal di Pasar Sayur Peunyong
NAMANYA Ayah Jamal (56). Ia adalah pedagang kaki lima di Pasar Sayur Peunayong, Banda Aceh. Ayah Jamal bersama para penjual kecil lainnya, sehari-hari hanya mampu mengahasilkan Rp 50 ribu dari menjual timun, terong, sawi, daun ubi, dan lain-lain di emperan jalan.

Ia berjualan dari pukul 07.00 wib, berangkat naik labi-labi dari sebuah desa di Kuta Baro, Aceh Besar. Sorenya ia kebali ke rumah sekitar pukul 16.00 wib. Nanti malam pemerintah bakal menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ayah Jamal dipastikan ikut merasakan dampak dari kebijakan politis pemerintah itu. Setidaknya bahan kebutuhan pokok bakal ikutan naik juga.

Tentu saja biaya transpor labi-labi yang digunakannya untuk sampai ke pasar juga naik. Sedangkan pendapatan setiap hari Ayah Jamal tetap saja stabil.

“Tapi kalau rezeki itu sama Allah. Kita rakyat kecil. Mau tidak mau juga harus ikut, meski terasa pahit,” ujarnya. (ansari)

5 November 2013

Pemburu Gurita di Pantai Pasir Putih




PANTAI Pasir Putih di Desa Lhok Mee, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar ternyata tak hanya
Wow, Gurita menghisap dan melilit
menyimpan pesona eksotik akan keindahan pantainya.Namun di balik hamparan pasir laut putih dengan airnya yang jernih menyimpan satu tradisi warga atau nelayan setempat yang amat menarik yakni; memburu gurita!Pemandangan ini setidaknya saya lihat saat berekreasi bersama keluarga ke pantai itu 4 November lalu. Beberapa warga dan nelayan setempat tampak turun ke dasar bibir pantai yang dipenuhi terumbu karang.
Para pemburu

Bila air pasang terumbu karang tempat gurita bersembunyi tidak begitu kelihatan, karena ditutupi air laut berwarna biru. Namun setelah air surut sekitar sore hari, terumbu karang yang sebelumnya hanya kelihatan samar-samar sudah jelas terlihat. Maka perburuan gurita pun dimulai.
Sedang berusaha mengeluarkan
Biasanya gurita yang diburu warga bersembunyi di dasar air di antara terumbu karang. Bagi pemburu yang sudah biasa, akan dengan mudah menemukan lokasi gurita bersembunyi. Setiap nelayan atau pemburu gurita hanya menggunakan satu besi kecil (stik) seukuran jari-jari sepeda motor. Setiap stik berukuran sekitar setengah meter yang ujungnya dibengkokkan. Para pemburu menyisir dimana ada ruang dalam terumbu karang, dengan memasukkan stik ke dalam rongga yang terdapat di antara terumbu karang tersebut.
Baru dikeluarkan dari sarang
Untuk mengetahui gurita ada dalam rongga terumbu karang, Si Pemburu perlu memasukkan stik dan kalau memang gurita bersembunyi di dalamnya, akan terasa kenyal. Nah, di sinilah para pemburu hewan moluska dari kelas Cephalopoda (kaki hewan terletak di kepala) ini berusaha mengeluarkannya dari pesembunyian.

Tanda yang paling umum juga dapat diketahui, saat stik dimasukkan dalam rongga yang terbentuk di antara bongkahan karang, terkadang gurita mengeluarkan jeli (sejenis lendir) berwarna kecokelatan. Sekali seprot, permukaan air berubah jadi cokelat. Tanda ini semakin meyakinkan Si Pemburu memastikan gurita bersembunyi di dalam terumbu karang tersebut. Konon, jeli warna kecokelatan yang disemprotkan gurita adalah cara hewan yang memiliki 8 lengan (bukan tentakel) dengan alat penghisap berupa bulatan-bulatan cekung pada lengan yang digunakan untuk bergerak di dasar laut dan menangkap mangsa--ini untuk menghilangkan jejak dari pemangsa atau musuhnya.
Gurita mengeluarkan jel cokelat
Biasanya para pemburu dapat dengan mudah menangkap gurita setelah diketahui bersembunyi di balik karang. Bagi pemburu yang sudah berpengalaman, hanya butuh waktu yang tidak terlalu lama untuk mengeluarkan gurita dari persembunyiannya. Namun ada pula yang kalah "pintar" gurita lolos dari incaran dan selamat.

Biasanya, setelah berhasil ditangkap, gurita melawan dengan melilitkan lengan dan menghisap kulit tangan Si Pemburu. Namun oleh pemburu perlawanan gurita ini tidak begitu menakutkan dan bahaya. Buktinya setelah gurita berhasil ditangkap, pemburu ternyata punya trik tersendiri untuk melemahkan tenaga gurita yaitu dengan membalikkan kulit kepalanya hingga bagian kepala atas masuk kedalam. Konon, dengan cara ini, gurita tidak dapat melihat dan tenaganya makin melemah.
Hasil tangkapan
Setelah ini dilakukan gurita selanjutnya dimasukkan dalam karung. Para pemburu kemudian kembali menyisir lokasi lainnya dengan cara melihat ke dalam air dengan permukaannya yang transparan. Memang agak miris juga melihat saat pemburu membalikkan kulit kepala Si Gurita, karena tentu dia merasa sangat kesakitan. Tapi hanya dengan cara itu, gurita dapat dilumpuhkan untuk bisa dibawa pulang.

Lokasi tempat gurita bersembunyi dan diburu tidak terlalu jauh dari bibir pantai. Kira-kira sekitar 200 meter dengan kedalaman sekitar setegah meter, atau bahkan bisa lebih rendah lagi. Tradisi memburu gurita ini sudah berlangsung lama dan menjadi salah satu mata pencarian masyarakat Lhok Mee. Sebab, gurita yang mereka tangkap bisa dijual ke pasar atau dibuat asinan. Tentu rasa dagingnya yang kenyal jika dimasak dengan bumbu dapur akan menjadi menu hidangan yang luar biasa sedapnya.
Sedang membeli
Siap dibawa pulang
Terkadang gurita yang baru saja ditangkap juga langsung dibeli oleh pengunjung pantai yang ikut menyaksikan tradisi perburuan ini. Saya sendiri melihat seorang wanita membeli satu gurita yang berhasil ditangkap pemburu seharga Rp 30 ribu.
Harganya memang sangat relatif tergantung dari besarnya. Bagi nelayan setempat memburu gurita menjadi kebiasaan lain di luar menangkap ikan di laut lepas. Tidak hanya itu, tradisi perburuan gurita ini juga menjadi tontonan menarik bagi setiap pengunjung pantai itu di sore hari kala air laut mulai surut.

Bila Anda tertarik mungkin bisa melihatnya langsung lebih dekat. Jangan lupa ajak juga anggota keluarga Anda sambil menikmati panorama alam di sekitar pantai yang menyuguhkan beragan keindahan. Selamat mengunjungi. (ansari hasyim)

Banda Aceh, 5 November 2013

2 November 2013

Ah...Cinta

Aduh mati aku!
kau cinta datang lagi
sudah kuberi seribu bintang
cahaya rembulan pun kau renggut

kini kau datang lagi meminta hatiku
itupun sudah kuberi sejak dahulu
bagaimana kutahu kalau kau sejujur itu padaku
Ah, cinta!

B. Aceh 1-11-2013

20 Oktober 2013

Balada Kami Anak Negeri




Kami ini orang di pojok beranda besi tua
tak tahu arti mercy, permadani, deretan kursi di gedung mewah tempat kalian menciptakan proyek yang katanya atas nama pembangunan

Angka-angka rupiah melangit hanya kami tahu dari buku keramat yang setiap tahun kalian perdebatkan
atau bahkan mungkin kalian rekayasa atas nama kami, lalu pundi-pundi rupiah mengalir ke kantong kalian, rumah, mobil, kamar tidur sampai ke kolong meja kerja ber-Ac

Kami ini hanya orang di pojok beranda besi tua
hidup dari segenggam peluh bertekuk tubuh di dibakar sengatan matahari
tertatih di antara hiruk pikuk deru mesin penggilas jalananan di tengah kejamnya kehidupan
merintih, meratap, mereka-reka setiap jengkal perut dan harapan tentang apa yang bisa kami dapat esok hari
bilakah kalian mungkin bisa mendengar jerit tangis anak-anak kami di malam sunyi, yang tak dapat tertidur di atas dipan beralaskan kertas koran karena perutnya yang lapar
bilakah kalian bisa melihat asap dapur kami yang hanya terkadang mengepul di kala senja menggelayut
bilakah kalian datang dan merasakan apa yang terhidang di istana kami berlasakan dasar bumi
atau lihatlah di sana ada semangkuk nasi putih beraroma garam laut pemberian tangan-tangan pederma hari ini

Kami ini hanya orang di pojok beranda besi tua
kami tak tahu apa arti dari angka-angka ajaib yang selalu kalian perdebatkan di rumah mewah atas nama kami
kalian sibuk menghitung pundi-pundi untuk diri kalian sendiri
lihatlah...lihatlah...Si Agam yang tak lagi punya jembatan menyeberang saat pergi ke sekolah di kampungnya karena telah dimakan rayap
atau lihatlah Si Dek Nong yang sepatunya sudah bolong tanpa tas jinjing di tangannya karena sawah mereka habis dibabat tikus
hari-hari mereka tapaki dengan mengukur jembatan kehidupan penuh kecemasan

Tapi lihatlah kalian dengan pogahnya setiap akhir pekan menikmati lift menyusuri pusat-pusat belanja mewah berkelas
atau bersama anak istri bercengkrama ria di dalam Chamry yang kalian beli atas nama kami

Kami ini orang di pojok beranda besi tua
hanya butuh matahari


B. Aceh, 10-10-13

Serempah, Kampung yang Hilang (3-Habis)

 Suara Peluit Isyarat Penemuan Korban

"Priiiittt... Priiiiittt... Priiiitt...," bunyi peluit dari dasar kawah. Agolo, Safety Officer Badan SAR Nasional (Basarnas) kaget dan bangun dari tempat duduknya. "Siapa itu, siapa yang tiup peluit?

Coba cari tahu, dan pastikan di mana posisi itu," katanya lewat Radio HT (handy talky) orange, warna khas Basarnas. Agolo tampak berdiri dengan posisi siaga. Matanya awas memandang ke dasar 'kawah jadian' dari atas ketinggian 100 meter. Selang beberapa detik kemudian bunyi peluit yang sama kembali terdengar dari arah longsoran

Desa Serempah, yang ambalas ke dasar bukit hingga membentuk kawah raksasa pasca gempa bumi 6,2 SR pada Selasa (2/7) pekan lalu. Bunyi itu terpancarkan dari reciver HT yang dipakai Tim Basarnas yang tengah mencari tujuh korban tertimbun runtuhan tanah Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.

"Ada bau mayat, ada belatung," suara dari dasar kawah yang jelas terdengar dari Radio HT beberapa petugas Basarnas yang berkumpul di pos pemantauan. Di pos ini, Agolo bersama beberapa relawan Basarnas lainnya mengendalikan dan memonitor pergerakan Tim SAR yang menyebar ke beberapa titik lokasi.

Tugas mereka adalah mencari tujuh korban yang masih tertimbun di dasar kawah berdiameter sekitar 500 meter persegi di kedalaman 100 meter. Bunyi peluit dalam operasi Tim SAR mencari korban adalah tanda emergensi dan harus segera direspons. Biasanya, tanda peluit itu menunjukkan adanya korban yang ditemukan, atau menjadi petunjuk kuat di mana korban tertimbun terlihat ke permukaan.

"Tolong hentikan, jangan bunyikan peluitnya, bisa confuse (bingung) nanti," kata Agolo memberi petunjuk begitu dilaporkan bahwa tidak ada korban yang ditemukan. Safety Officer Basarnas berbadan tegap itu juga mewanti-wanti kepada tim agar berhati-hati.

Operasi pencarian tujuh korban di kawah bekas runtuhnya Desa Serempah masih rawan. Beberapa kali terdengan call sign in (panggilan) kepada petugas penyelamat yang berada di dasar kawah agar berhati-hati terhadap pergerakan dinding kawah yang rawan longsor. Sementara itu, di dasar kawah juga tampak dua alat berat beko mengeruk timbunan tanah di pinggiran sungai untuk mencari korban. Juga tampak dari radius satu kilometer, sebuah pos monyet berbendera Merah Putih berada di dasar kawah.

Operasi pencarian korban melibatkan tim terpadu. Selain Basarnas pencarian korban juga dibantu aparat TNI/Polri. Satu unit amabulans juga stand by di lokasi. Hingga Senin (8/7) kemarin, upaya pencarian korban hilang terus dilakukan tim SAR di Dese Serempah yang ambruk ke dasar bukit. Menurut warga terdapat 11 korban tertimbun runtuhan tanah saat Serempah amblas ke dasar bukit. Lima di antaranya ditemukan tewas terdiri atas seorang lelaki dewasa, seorang wanita dan tiga anak. Korban terakhir seorang anak ditemukan tim Basarnas Minggu (7/3) siang kemarin. Sementara 7 lainnya diperkirakan masih terkubur di bawah timbunan longsor di lokasi kawah itu.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Minggu (7/3) merilis sebanyak 31 orang meninggal di kawasan Aceh Tengah, sementara 9 orang tewas di Kabupaten Bener Meriah. Sebanyak 63 orang luka berat masih dirawat di rumah sakit dan 2.362 orang menjalani rawat jalan. Sementara jumlah pengungsi mencapai 22.125 orang, dan sebanyak 15.919 rumah rusak. Tim Badan SAR Nasional masih terus menyisir lokasi untuk mencari enam korban lain yang tertimbun.

Upaya pencarian korban juga melibatkan squad pasukan khusus Basarnas Special Group (BSG) dari Jakarta, yang memiliki kemampuan dua kali lipat dibandingkan tim biasa.
"Upaya pencarian korban akan terus kita lakukan," kata Agolo yang dihubungi Serambi, tadi malam.
Para keluarga korban di Desa Serempah, kini hanya menunggu sebuah keajaiban dari peristiwa yang memilukan itu. "Saya tetap menunggu. Semoga kami bisa bertemu lagi, walau itu hanya sebatas jasadnya," kata Marzuki (35), yang kehilangan adiknya, Nekmat (30). Seiring Nekmat dan 10 korban lainya tertimbun dan perkirakan tewas, Serempah kini juga ikut berduka. Gempa 6,2 SR yang mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, Selasa (2/7) lalu telah melenyapkannya dari peta bumi. (ansari hasyim)

Serempah, Kampung yang Hilang (2)


 

Ibu dan Anak Terkubur Longsoran

MUKMIN kelihatan lelah di bawah sengatan matahari. Di wajahnya menempel butiran debu dengan kulit tampak lebam. Siang itu ia hanya bisa duduk diam, menatap kawah raksasa di depannya yang terbentuk setelah Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah ambruk ke dasar bukit pascagempa 6,2 SR mengguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah, Selasa (2/7) lalu.

Bagi Mukmin kawah raksasa berdiameter 500 meter persegi dengan kedalaman sekitar 100 meter itu menyimpan cerita yang tak bisa dilupakan. Di dasar kawah itulah, ia menemukan ibunya, Nawani (35) bersama adiknya, Rahdiko (1) tertimbun runtuhan tanah Desa Serempah. “Waktu ditemukan ibu lagi menggendong adik,” kata mahasiswa Universitas Gajah Putih, Takengon itu.

Mukmin seolah masih tak percaya tragedi runtuhnya Desa Serampah telah merenggut kedua orang terdekat dalam hidupnya. Saat ditemui Serambi, Sabtu (6/7) lalu, ia baru saja mengangkut barang-barang yang tersisa di bekas rumahnya di desa berpenduduk 74 KK itu. “Bangunan depan rumah runtuh ke bawah. Bagian dapur saja yang tersisa. Sekarang tidak bisa ditempati lagi,” ujarnya.

Saat gempa menguncang Mukmin sedang memperbaiki sepeda motor di Blang Mancung, Kecamatan Ketol. Setelah gempa berhenti ia pulang ke desa. Namun ia menemukan pemandangan mengerikan. Desa itu telah berubah menjadi kawah raksasa, belasan rumah warga termasuk rumahnya telah amblas. Harapan bisa bertemu ibu dan adik-adiknya sirna. “Hari itu juga saya turun ke bawah, dan menemukan ibu dan adik sudah tertimbun,” katanya.

Menurut kesaksian warga runtuhnya Desa Serempah ke dasar bukit berlangsung dramatis. Sebagian besar penduduk saat itu tengah beraktivitas di sawah, kebun dan ladang. Tiba-tiba tanah Desa Serempah bergoncang hebat. Suara gemuruh dari perut bumi terdengar jelas oleh warga. Pohon-pohon di atas perbukitan seperti ‘menari-nari’, disertai bunyi dentuman tanah amblas dan bangunan ambruk.

Sementara itu, pukul 14.37 WIB saat gempa terjadi, Marzuki (35), seorang warga setempat lainnya, yang berada tak jauh dari lokasi runtuhnya tanah Desa Serempah, hanya bisa tercengang melihat detik-detik detik-detik desai lenyap dari peta bumi. “Waktu mau runtuh terdengar suara gemuruh dan getaran hebat dari dalam tanah. Cuma dua menit berselang, semuanya sudah hancur lebur jatuh ke bawah,” ujarnya.

Menyaksikan pemandangan itu, Marzuki lari menyelamatkan diri ke sawah bersama istrinya Sufiati (25) dan seorang anaknya Misnawati (4). Meski selamat dari musibah itu, namun Marzuki turut merasakan duka mendalam. Ia kehilangan adik kandungnya, Nekmat (30). Lelaki ini diduga masih tertimbun dalam tanah. Nekmat waktu itu terlihat tengah memancing di sungai dekat tebing yang longsor. “Sampai sekarang dia tidak pulang lagi,” katanya.

Korban meninggalkan seorang istri dan tiga anak. Marzuki masih berharap dapat menemukan jasad adiknya itu. “Saya selalu menunggu di sini berharap dia bisa ditemukan,” kata Marzuki yang terus mengikuti perkembangan tim Basarnas menyisir lokasi.

Hebatnya guncangan gempa disertai longsornya bukit di Serempah juga dirasakan Sanen (50). Saat gempa terjadi ia berada di kebun. Namun tiba-tiba tanah dari atas bukti runtuh dan menimbun setengah badannya. Makin lama tanah bercampur lumpur itu makin tinggi hingga mencapai mulutnya. Saat itu tanah terus berguguran dari dinding bukit akibat getaran gempa.

Senen yang sudah ringkih berjuang sekuat tenaga membebaskan diri dari tanah yang menghimpit tubuhnya. Beruntung, akhirnya ia bisa keluar dan lepas dari maut. “Saya sudah tak ingat apa-apa lagi waktu itu. Yang terpikir saya ingin pulang melihat anak saya,” ujarnya saat ditemui di Posko Pengungsian Kutagelime, Kecamatan Ketol, bersama 17 KK penduduk Desa Serempah lainnya, Minggu (7/7).


Tapi lelaki itu kini masih terus dirundung kesedihan. Anaknya, Sabri (23) sampai saat ini belum ditemukan. Istri korban, Dewi Mariani (20) bersama anak semata wayang mereka, Sri Murni (1,7) ikut mengungsi ke posko. Padahal, pasangan ini baru lima hari merasakan tinggal di rumah sendiri di Desa Serempah. Namun kini, semuanya hanya tinggal mimpi.

Selain kehilangan harta, tulang punggung keluarga kecil itu juga telah pergi untuk selamanya bersama tragedi runtuhnya Serempah di dasar bumi. “Saya berdoa dia bisa segera ditemukan,” kata Dewi lirih sambil mengendong anaknya. (bersambung)

19 Oktober 2013

Serempah, Kampung yang Hilang (1)



Membentuk Kawah Raksasa, Menimbun 11 Warga

PENGANTAR REDAKSI: Gempa bumi yang melanda wilayah dataran tinggi Gaya, Selasa (2/7) lalu, banyak menyisakan cerita duka. Wartawan Serambi, Ansari Hasyim, coba mengungkap berbagai cerita duka tersebut langsung dari lokasi bencana, di Aceh Tengah dan Bener Meriah, dalam tiga laporannya yang mulai kami turunkan edisi ini.

                                                        *    *    *

SEREMPAH, desa di kaki bukit itu kini hanya tinggal kenangan. Gempa berkekuatan 6,2 skala richter yang menguncang Aceh Tengah dan Bener Meriah Selasa (2/7) lalu telah melenyapkannya dari peta bumi. Tragedi kemanusiaan di Serempah menyisakan duka mendalam bagi penduduk setempat. Belasan rumah, harta benda, dan fasilitas publik hilang tak berjejak tertimbun longsoran tanah.

Longsoran itu membentuk kawah raksasa berdiameter sekitar 500 meter persegi dengan kedalaman sekitar 100 meter. Bila dilihat dari atas bukit, persis menyerupai lokasi meteor jatuh dari langit. Tidak hanya rumah, di dasar tanah bekas runtuhnya Serempah terdapat 11 warga tertimbun. “Baru empat orang yang sudah ditemukan. Tujuh lainnya masih dalam pencarian,” kata Marzuki (35), seorang warga yang ditemui Serambi di lokasi, Sabtu (6/7).

Desa Serempah terletak di Kecamatan Ketol, Aceh Tengah. Di sini kanan dan kiri diapit tebing dan bebukitan terjal. Di bawahnya mengalir sebuah sungai dengan air yang jernih sebagai sumber kehidupan warga. Pascagempa, sungai itu kini telah menguning karena tertimbun tanah yang runtuh dari tebing. Tanah pebukitan tersebut begitu mudah runtuh bila ada getaran gempa, karena konturnya yang labil, gembur, dan nyaris tak mengandung bebatuan.

Serambi yang memasuki Desa Serempah, Sabtu (6/7) siang, juga menyaksikan sepanjangan jalan sebelah kanan dengan radius sekitar 500 meter masih terlihat abu berterbangan dari dinding tebing dan bukit. Ini menandakan, tebing dengan kontur tanah yang labil itu diperkirakan kembali runtuh bila gempa susulan terjadi. Tampak juga pohon-pohon berukuran besar dan tinggi tumbang dan miring karena dihantam tanah yang longsor dari tebing saat gempa terjadi.





Pemandangan lebih miris, warga Serempah kini telah menjauh dari desa kelahirannya. Nyaris tidak ada warga yang berani tinggal lagi di tanah yang tersisa dalam desa itu. Selain kondisinya sudah rusak, wilayah di atas pebukitan mulai retak dan sesekali dapat mengancam jiwa warga. “Warga sudah tak berani lagi tinggal di sini. Sebab, tanah di kawasan ini sepertinya sudah tidak kuat lagi menahan goncangan. Sekarang kami mengungsi di Kutagelime,” kata Marzuki.

Desa Serempah kini hanya bisa dilewati oleh kalangan tertentu saja. Upaya ini dilakukan demi keamanan, karena lokasi Serempah sudah tidak stabil lagi dan sewaktu-waktu dapat mengancam jiwa. Akses menuju Serempah hanya diperbolehkan untuk wartawan, tim relawan, aparat keamanan yang hingga kemarin masih melakukan proses pencarian tujuh warga yang masih tertimbun di dasar longsoran.


Selain itu, akses masuk ke Serempah, tepatnya di perbatasan Desa Bah, Kecamatan Ketol, hanya diberikan kepada warga dan saudara keluarga korban yang ingin melihat kondisi rumah. Tragedi di Serempah ini juga banyak menyedot perhatian warga yang hanya sekadar datang untuk melihat dan memastikan, apakah ada kerabat atau sanak keluarganya yang jadi korban.

Peristiwa runtuhnya Desa Serempah ke dasar bukit juga menutup akses menuju beberapa desa lainnya, yaitu Kukuyang, Bugara, Simpang Tiga dan Berawang Gajah. Serempah dihuni sekitar 74 kepala keluarga. Mayoritas penduduk setempat adalah petani dan peladang. Bagian tanah yang amblas ke dasar bukit terdapat fasilitas publik seperti Polindes dan belasan rumah.

Menurut keterangan warga setempat, rumah-rumah yang amblas tersebut milik Syamsudin, Arman (kepala desa), Selamat (sekeretaris desa), Dahlan, Mukmin, Aman Lida, Aman Kurnia, Daud Bereh, Abdul Wahab, Aman Pardi, Karya dan Rubiah. Untuk mencapai Serempah dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari Takengon. Namun jalan menuju ke sana tidak dapat diakses karena masih ditutupi longsoran.


Warga yang hendak ke Serempah harus melalui jalan ke mengitari Bukit Sama (Jalan Bireuen-Tekengon) di Kabupaten Bener Meriah dengan waktu tempuh sekitar dua 2,5 jam perjalanan. Kini, jika kita melewati lintasan ini, tampak sejumlah warga termasuk anak-anak mengulurkan kotak sumbangan kepada pengguna jalan. Bekas longsoran bukit dan jalanan yang retak dapat dengan mudah ditemui. Medan semakin berat terasa saat memasuki perbatasan Aceh Tengah-Bener Meriah.

Kondisi jalan tersebut banyak yang rusak, menanjak dan berdebu. Tak jauh setelah memasuki wilayah perbatasan kondisi kerusakan parah mulai terlihat. Rumah-rumah banyak rubuh, retak dan beberapa di antara pemilik mendirikan tenda. Serambi berhasil masuk ke Serempah sekitar pukul 13.30 wib. Truk tentara mulai terlihat hilir mudik keluar masuk Serempah, termasuk para relawan, dan ambulans terparkir siaga. Tepat di lokasi amburuknya Desa Serempah ke dasar bukit masih terus menjadi fokus relawan Basarnas mencari tujuh korban yang masih hilang tertimbun longsor. (bersambung)






Diterbitkan Harian Serambi Indonesia Minggu, 7 Juli 2013

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget